Tuesday 20 February 2018

Indah Pada Waktunya


"Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui."[Surah Al-Baqarah ayat 216]

***
“…..Kurang jelaskah pintaku, Rabbi?
Kenapa aku harus berjalan ke arah pertama kali Fajar terbangun?
Kenapa tidak ke Barat, ke arah senja menjingga seperti pintaku kemarin?
Ah, adakah syair indah yang ku dengar apabila melangkah ke timur?”

***
“Zehra.” Ujarku memperkenalkan diri pada seorang gadis seusiaku yang dari tadi matanya berusaha menjangkau tulisan yang tertempel di papan. Di depan papan ada ratusan anak manusia yang berebut melihat hasil tes SNMPTN mereka. Gadis tersebut sudah tampak putus asa dan memilih duduk di kursi panjang sebelahku.
“Alya.” Jawabnya sambil tersenyum dan mulai mengibas-ngibaskan tangan ke wajahnya. Memang suhu udara hari ini sangat menyengat.
“Kamu ikut tes SNMPTN  juga kan? Sudah lihat hasilnya?” Alya mulai membuka obrolan.
Aku memandangnya dengan tersenyum. Mungkin Alya sekarang masih cemas, tidak sabar melihat hasil tesnya seperti aku tadi sebelum melihat hasil tesku.
“Aku gagal.” Jawabku singkat.
Alya melongo tanda tak percaya kemudian dia menampakan raut wajah yang sedih.
“Gagal itu biasa, kamu harus tetap semangat. Aku juga belum tahu apakah aku diterima di universitas ini apa tidak. Atau aku bernasib sama denganmu.”
Tiba-tiba seorang gadis berjilbab tosca menghampiri Alya dengan ekspresi bahagia.
“Alya, kamu lolos tes. Aku dan kamu diterima.” Gadis itu menyampaikan kabar gembira itu ke Alya yang masih bengong di sebelahku.
“Aku lolos?” Alya masih belum yakin akan kabar itu.
“Iya. Kamu lolos, Al. Kamu diterima.” Gadis berjilbab tosca itu meyakinkan Alya.
Sedetik kemudian mereka sudah berjoget-joget penuh kegembiraan. Tidak diperdulikannya orang-orang yang menatap heran ke arah mereka. Dan aku memandangnya dengan tersenyum tapi hatiku menangis. Seandainya aku juga merasakan seperti apa yang mereka rasakan sekarang. Dan jujur, aku iri melihatnya. Ku halau air mataku yang hendak menyeruak turun. Aku harus tetap tegar.
Alya menghentikan jogetannya setelah matanya menangkap wajahku. Air mataku sudah basah di pipi dan Alya sudah melihatnya.Alya duduk kembali di sebelahku.
“Zehra, kamu yang sabar ya. Kamu harus yakin bahwa masih banyak universitas yang bersedia menerimamu. Allah pasti punya rencana lain yang lebih indah untukmu. Jangan pernah putus asa.” Alya menghiburku dan memberi semangat padaku.
“Terima kasih, Alya. Aku memang tidak boleh putus asa.”
“Oh iya, kenalkan ini temanku Pia.” Alya memperkenalkan gadis berjilbab tosca itu. Gadis itu mengulurkan tangannya dan menjabat tanganku.
“Pia.”
“Zehra.”
“Aku dan Pia harus pulang sekarang sebelum magrib. Semoga kita dapat bertemu lagi dikemudian hari dan tentunya kamu jadi orang sukses. Tetap semangat.” Alya dan Pia berlalu meninggalkan aku yang masih duduk terhanyut dalam kesedihan atas nasibku.
Ku hirup nafas panjang kali ini. Lagi-lagi namaku tidak ada di papan pengumuman. Langkahku semakin menjauh dari papan tersebut, berlari ke sudut kampus mencari tempat sepi. Dan toilet salah satu pilihanku. Pintunya aku kunci rapat-rapat dan air mataku pun jatuh tak terbendung.
***
Alya Mahira. Nama lengkap salah satu pelamar kerja di kantorku. Aku tersentak saat ku melihat foto di surat lamaran kerjanya. Alya, seorang gadis yang dulu pernah berkenalan dengan ku kira-kira empat tahun yang lalu. Kita berkenalan saat melihat pengumuman tes masuk SNMPTN. Dan lima menit lagi aku akan bertemu lagi dengannya. Aku duduk dengan tenang di kursi kerjaku. Seorang gadis berjilbab hijau masuk ruanganku dengan sopan.
“Selamat pagi, Bu.” Sapanya.
Aku mendongakan wajahku. Dia Alya. Ternyata dia tidak berubah, tetap sama seperti pertama kali kami bertemu.
“Selamat pagi. Silakan duduk.” Jawabku sambil tersenyum.
Sontak Alya terkaget melihatku. Raut mukanya sudah tidak bisa kugambarkan jelas. Antara senang, haru ataupun malu.
Tes kerja berlanjut menanyakan keadaan masing-masing. Alya tersenyum melihat papan kecil bertuliskan ‘Sekretaris’ di atas meja kerjaku.
“Kamu hebat, Ra. Bagaimana ceritanya kamu bisa bekerja sebagai seorang Sekretaris? Bukannya dulu kamu daftar kuliah jurusan sastra?”
“Iya memang aku suka sastra. Tapi ternyata Allah punya rencana lain seperti katamu dulu. Tidak lama setelah tes itu, ayahku sakit stroke. Dan aku harus kuliah sambil bekerja. Akhirnya ku putuskan untuk kuliah professional tiga tahun dan aku ambil jurusan sekretaris. Alhamdulillah sekarang aku bisa kerja jadi seorang sekretaris di sini. Dan di satu sisi, aku tetap bisa mempelajari sastra. Aku bisa sempatkan menulis di sela kesibukan kerjaku.” Aku kembali teringat perjuanganku dulu.
“Selamat ya kamu berhasil menjadi orang sukses. Aku salut pada perjuanganmu.” Alya lalu keluar ruanganku untuk mengikuti tes wawancara di ruangan direktur.
Alya baru saja lulus kuliah dengan gelar sarjana di bidang sastra. Suatu bidang yang dulu sangat ingin aku capai. Dan kini Alya melamar di perusahaan tempatku bekerja sebagai editor majalah sastra.Ternyata Allah telah mengatur hidupku dengan indah.
Mataku memandang keluar jendela yang berembun. Tadi pagi hujan memenuhi kota Surabaya. Sisa airnya masih terlihat memenuhi jendela ruanganku. Di ujung sana terlihat kupu-kupu baru belajar mengepakan sayapnya tak jauh dari tempat lahirnya, kepompong. Kepompong yang berasal dari ulat berbulu yang jelek sekarang menjelma menjadi sosok kupu-kupu cantik setelah melalui proses perjuangan yang panjang. Semua indah pada waktunya.

#Onedayonepost
#ODOPbatch5
#ODOPharike-27

Post a Comment

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search