Tuesday 20 February 2018

Hujan dan Rindu

“Ah, sial!! Kenapa hujan harus turun sore ini sih?”
Entah pada siapa aku memaki. Tapi sore ini aku benar-benar kesal. Pasalnya, sepulang kerja aku harus berlarian hanya untuk mengejar senja yang hampir tenggelam. Tapi tiba-tiba awan hitam seenaknya datang memayungi langit yang indah. Aku benci hujan!!
Aku larikan kedua kakiku untuk mencari tempat berteduh. Pakaianku sudah setengah basah. Kalau kupaksakan tetap berdiri di tepi pantai, bisa-bisa aku pulang dengan baju basah kuyup.  Aku merelakan senja hilang ditelan rintik hujan. Dan sebelum tubuhku sampai di tempat berteduh, beberapa meter tepat di depanku ada sesuatu yang membuat langkahku terhenti. Seorang laki-laki dengan gagahnya menengadahkan kedua tangan serta kepalanya menghadap ke atas. Tepat air hujan membasahi seluruh wajahnya. Aku memperhatikannya sekilas dan berlari ke warung tenda yang bertebaran di bibir pantai. Dari tempatku berteduh, masih ku lihat lelaki itu berdiri dengan posisi yang tidak berubah. Masih dengan tangan menengadah. Sepertinya dia sangat senang atas kedatangan hujan.
Hujan mereda saat bebarengan dengan sayup-sayup adzan magrib. Jarum jam di tanganku menyentuh angka enam. Dan aku harus secepatnya pulang. Lelaki yang aku lihat tadi tiba-tiba lewat di depanku dan memandangku sekilas. Ada seutas senyum menghiasi bibirnya lalu dengan cepat berlalu di hadapanku tanpa memberiku kesempatan untuk membalas senyumnya.

***
"Aku suka senja." Jawabku singkat
"Tapi aku lebih suka hujan." Jawabnya sambil tersenyum
"Tapi hujan akan menutupi keindahan senja jika ia hadir saat senja sedang nampak di langit." Protesku berang.
"Kamu mau jadi senja, Ai?"
Aku hanya mengangguk.
"Kamu tahu, senja itu indah tapi kenapa datang hanya sesaat? setelah itu terbenam dalam malam yang kelam." Katanya sedih.
Aku menatap wajahnya dengan penuh keyakinan.
"Senja memang hanya hadir di pengujung sore, Bey. Tapi taukah kamu bahwa senja selalu ada di sini. Di hati. Ujarku sambil menekan telapak tanganku ke dada.
"Kenapa kau suka hujan, Bey?"
"Karena hujan memperkenalkanku pada cinta."
Aku dan Abbey sering menghabiskan hari-hari berdua dengan atau tanpa senja. Terkadang hujan turut serta bersama kami. Sesekali aku memandangnya yang tengah duduk di sampingku. Bibirnya menyeruput secangkir kopi sambil menikmati senja yang perlahan redup. Setelah pertemuan beberapa bulan lalu, aku dan Abbey sering bertemu di tempat yang sama seperti pertama kali kita bertemu tapi tujuan kita berbeda. Aku menunggu senja yang bergulir di langit sore, sedangkan Abbey merindukan hujan walau di bulan Juni sekalipun dia akan setia menunggu di tempat ini.

***
“Coba sekali-kali kamu berdiri di bawah hujan, Ai. Kamu akan merasakan betapa hebatnya perasaan yang dibawa oleh setiap rintikan hujan.”
“Dan merelakan senja berganti hujan?!”
“Kamu jangan pernah menafsirkan buruk tentang hujan, Aila. Hujan membawa manfaat untuk bumi.” Abbey berusaha menjelaskan.
“Dan membawa pergi senjaku.” Jawabku kesal.
Abbey tak pernah tahu bahwa hujan adalah saksi dimana aku harus menyaksikan penghianatan kekasihku. Seorang lelaki yang tega mencumbu perempuannya tepat di hadapanku, di bawah rintik air hujan yang deras.
Masih aku ingat satu tahun lalu, siang itu Rian ijin untuk tidak menjemputku di kampus. Dia ada pekerjaan yang tidak bisa dia tinggalkan. Aku memakluminya karena sebagai asisten manager di perusahaan terkenal di Surabaya, dia sibuk sekali. Maka aku putuskan untuk naik bemo menuju rumahku yang ada di kawasan Kenjeran. Aku tidak langsung menuju rumah tapi ke tepi laut, ku nikmati senja yang mulai menyapu angkasa dengan warna jingganya. Tak lama langit dari arah selatan berubah gelap dan hujan pun perlahan turun membasahi tanah. Aku ingin pulang segera tapi aku terkesiap ketika ujung mataku menyaksikan Rian mencumbu Mia, teman sekampusku.

***
“Ai, ayo ikut. Aku ingin memperlihatkan sesuatu padamu!!” Abbey menarik tanganku ketika aku baru saja keluar dari kantor tempatku bekerja.
Aku kaget bukan kepalang melihat tingkah Abbey yang tiba-tiba muncul di depanku dan tanpa permisi lagi menarikku ke taman yang letaknya di belakang kantor.
“Lihat ke atas, Ai!!” katanya sambil menunjuk ke atas langit.
“Pelangi?” tanyaku ragu.
“Memangnya kamu lihat apa? Pesawat terbang? Iya itu pelangi. Dan aku tak perlu menjelaskan panjang lebar kan tentang proses terjadinya pelangi?” Abbey tertawa keras mempertontonkan gigi putihnya yang rata.
“Lalu?” Aku masih tidak mengerti apa maksud Abbey mengajakku ke sini hanya untuk melihat pelangi.
“Dia adalah alasan mengapa aku mencintai hujan. Aku selalu merindukan pelangi di setiap penghujung rintik hujan yang terakhir. Walau kadang aku harus kecewa karena hujan tak pernah menjanjikan pelangi datang.”
Sejak kehadiran Abbey, aku mencoba tuk mencintai hujan. Mencoba menghapus semua bayangan masa lalu yang tampak setiap kali hujan bertandang. Abbey mengajariku mencintai hujan tanpa harus meninggalkan senja. Dan aku mencintai Abbey seperti halnya aku mencintai senja.

***
Entah sudah berapa kali aku memaki-maki diriku sendiri. Rasanya aku menjadi orang terbodoh di dunia ini, atau Bey yang pembohong?
Pagi ini terlalu suram untuk ku nikmati, apalagi di sudut pantai sana seseorang yang aku kenal  berjalan berdua dengan seorang wanita. Dan aku belum pernah kenal dengannya.
"Bey, bolehkah aku bertanya sesuatu?" Tanyaku gugup. 
 Akhirnya aku memberanikan diri bertanya pada Bey sejak pagi tadi.
"Mau tanya apa, Ai? Biasanya kau tak perlu minta persetujuanku saat kau bertanya padaku." Ujarnya sambil tersenyum, matanya mengisyaratkan rasa penasaran.
Aku menghela napas panjang dan bertanya dengan pelan.
"Kamu punya kekasih, Bey?"
"Kenapa kamu tanya seperti itu?"
"Kau belum jawab pertanyaanku Bey."
"Dulu,"
"Maksud kamu??"
"Ya, dulu aku punya kekasih tapi sekarang sudah gak. Bukankah sekarang kamu yang ada di sini, itu artinya tak ada wanita lain selain kamu." Ujarnya sambil menghirup es kelapa yang sejak tadi tak tersentuh.
"Di sini memang hanya ada aku tapi di hatimu??" Tanyaku keras. Mataku sudah terasa panas.
"Maksud kamu, Ai?"
"Aku tadi pagi melihatmu berjalan berdua menyusuri pantai. Dan ku lihat kalian sangat bahagia.." Ucapku dengan menggigit bibir, terlalu sakit untuk kuucap.
Bey langsung menoleh ke arahku dengan cepat, di detik pertama dia shock tapi detik selanjutnya dia menundukan pandangannya dan kembali menghadap ke laut dengan pandangan jauh menerawang.
"Kamu cemburu, Ai?" Tanyanya datar.
"Apa kamu mengharapkan aku cemburu?"
"Kamu memang cemburu." Jawabnya tanpa ragu.
"Aku tak pernah mengatakan itu." Ujarku kesal
"Memang kamu tak pernah mengatakan itu tapi matamu sudah menjelaskan semuanya."
"Ya. Aku cemburu, Bey. Aku cemburu saat ada wanita lain yang berjalan berdua denganmu.” Kataku jujur. Aku tak peduli lagi jika aku harus mengatakan hal yang selama ini aku tutupi.
"Kamu cemburu karena kamu kalah cantik, Ai. Ha..ha......ha.." Sahutnya sambil tertawa keras. Aku heran apa yang membuatnya tertawa seperti itu. "
Gak lucu!" Jawabku judes.
"Ai, dengarkan aku. Sampai saat ini tak ada wanita yang bisa membuatku bahagia selain....."
"Wanita itu kekasihmu kan, Bey?" Tanyaku memotong ucapannya.  Entah kenapa aku begitu cerewet hari ini. Memang tidak salah aku banyak bertanya, bukankah seorang wanita akan penasaran jika ada wanita lain selain dirinya?
"Dulu." Jawabnya tanpa ada beban.
"Dulu? Lalu apa bedanya sekarang dengan dulu kalau kalian masih terus bersama??!" Tanyaku terisak. Ah, lagi-lagi aku harus menangis gara-gara seorang lelaki. Seharusnya aku sadar bahwa Abbey tak pernah ada perasaan terhadapku. Mungkin aku saja yang terlalu percaya diri.
Dan kali ini Bey tidak menjawab atau pun membantah seperti biasanya, tidak bergurau. Dia diam mematung sambil terus memandang birunya laut. Dadaku terasa sakit, begitu istimewanya kah wanita itu di mata Bey?
***
Aku kembali menikmati wajah Abbey dari kejauhan seperti dulu saat pertama kali berjumpa. Tapi kali ini Abbey tidak sendirian. Aku melihat wanita itu memeluk erat tubuh Abbey. Kedua tangan Abbey yang terentang menyambut hujan perlahan berganti posisi melingkari pinggul wanita itu. Aku terhenyak di tempatku berdiri. Luka kembali bersemayam di hatiku. Aku kemudian berlari di tengah derasnya hujan. Memang begitu hebatnya perasaan yang dibawa rintik hujan, seperti yang Abbey katakan. Perasaan itu bercampur dengan perasaanku saat ini. Cemburu, sakit hati dan kecewa. Dan aku tersadar, senja dan hujan tak akan bisa bersatu.

***
Apa kabar Senja?
Lama ya kita tak bersua
Masihkah kau bercerita tentang dongeng sore?
Atau kau sering bertanya-tanya kenapa orang-orang selalu menunggumu?
Siapa sajakah yang selalu menikmati indahnya dirimu?
Adakah terbesit namaku di benak pertanyaanmu itu?
Senja, aku ingin lagi menemuimu
Akan ku ceritakan padamu apa itu rindu
Ya, rindu.
Bukankah kau dulu sering mempertanyakan rindu?
"Hujan, siapakah rindu?"
Sekarang aku di sini untukmu
Menjawab tentang semua rindu yang mungkin memenuhi hati dan pikiranmu.
Senja, bagiku rindu itu kamu
Bukan pelangi atau wanita lamaku



#Onedayonepost
#ODOPbatch5
#ODOPharike-29

Post a Comment

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search