Wednesday 3 April 2019

Cerpen Bukan Rama Shinta

Sumber: Google

Aku terpana pada sesosok lelaki jangkung bermata teduh yang menemuiku seusai jam kuliah. Dia memperkenalkan diri dengan nama Rama. Tapi bukan Rama dalam cerita pewayangan karena aku bukan Sinta kekasihnya. Baru pertama kali ini aku bertemu dengannya.
"Anggita Deswanti, kan?" lelaki yang bernama Rama itu sibuk mengecek ktp di tangannya sambil bolak-balik menatapku.
"Iya benar. Memangnya ada apa, Mas?" aku juga sedikit kebingungan tiba-tiba ada lelaki tampan menemuiku.
"Dompetnya tadi jatuh di gerbang kampus. Saya coba memanggil dan mengikuti mbak tapi sayangnya sudah keburu masuk ruangan."
"Oh, iya Mas. Terima kasih banyak. Maaf, jadi merepotkan." Ujarku canggung.
"Santai saja, Mbak." Jawabnya sambil tersenyum.
Duh, dimana pernah kutemukan senyum itu. Senyum manis di balik kombinasi sorot mata yang demikian memikat. Dan saat menatap matanya, tiba-tiba molekul-molekul berloncatan di hatiku.

Namanya Rama Satria. Dia berasal dari kota yang digadang-gadang sebagai kota Soto. Kota Lamongan. Sejak pertemuan enam bulan lalu yang tanpa direncanakan itu, akhirnya kami sering ketemu. Rama satu tingkat di atasku, dia dari Fakultas Ekonomi yang fokus pada Akuntansi. Hemm, jurusan yang sangat aku hindari. Sedangkan aku sendiri memilih Fakultas Ilmu Sosial, mempelajari ilmu-ilmu sejarah yang menurutku mengasyikan.
Selain jago dalam hal angka-angka, ternyata Rama juga menyukai sejarah dan hal tersebut membuat hubungan kami semakin akrab.

*****
"Ibuku pernah cerita, saat hamil ibu sangat suka membaca buku Ramayana. Dan kagum sama sosok Rama. Ksatria dari Ayodhya yang berduel melawan Rahwana. Tentu kamu sudah paham betul dengan ceritanya. Jadi tak perlu kuceritakan lagi kisah Rama. Iya, kan?" Rama menatapku yang tengah sibuk makan bakso beranak. Suasana Malang yang dingin, membuatku selalu lapar.

Karena aku belum berkomentar tentang ceritanya, dia masih saja menatapku dan kali ini sambil tersenyum membuatku semakin kikuk di hadapannya. Dia dengan sabar menungguku menelan makanan yang sudah bersarang di mulut.
"Iya, Rama. Aku sudah berkali-kali baca cerita Ramayana dan hafal betul dengan perilaku Rama. Selain ksatria hebat Rama juga tampan." Aku nyengir setelah mengucapkan kalimat terakhir.
"Tapi misal dulu aku lahir kembar, ibuku pun sudah menyiapkan namanya."
"Pasti Nakula dan Sadewa. Ksatria Pandawa."
"Sok tahu kamu. Memangnya ksatria kembar cuma Nakula Sadewa?"
"Terus siapa? Upin dan Ipin?" aku asal jawab sambil tertawa.
"Kalau itu mereka belum diproses pas aku lahir." Rama ikut tertawa menanggapi jawabanku.
"Terus siapa?" tanyaku penasaran.
"Panji Laras dan Panji Liris. Belum pernah dengar kan?" Rama mengambil satu bendel buku dari dalam tasnya dan diserahkan padaku.
"Itu kisah Panji Laras dan Panji Liris, ksatria tampan dari Lamongan. Itu bukti peninggalan mereka" Ujarnya sambil menunjuk sebuah foto yang dijadikan cover buku tersebut.
"Aku pernah dengar sih. Tapi belum tahu cerita lengkapnya.Yang menceritakan tentang kisah Dewi Andanwangi dan Andansari, kan?" tanyaku memastikan. Karena setahuku kisah itu juga ada hubungannya dengan kotaku, Kediri.

"Kamu benar, Anggi. Kisah tersebut sangat terkenal di Lamongan bahkan nama-nama mereka dijadikan nama jalan di Lamongan. Kalau peninggalannya itu sekarang disimpan di Masjid Agung Lamongan. Kapan-kapan aku akan ajak kamu ke sana."

"Boleh. Tapi nanti kamu sambil cerita ya. Ya, jadi tour guide lah selama aku di Lamongan." Aku tersenyum senang.

"Beres, tuan Putri." Katanya sambil membentuk tangan hormat. Dan aku tertawa dibuatnya.

***
Udara siang yang menyengat di Lamongan seakan terhempas begitu saja oleh sambutan hangat  Ibu Ani, ibunda Rama. Ia terlihat anggun dan ramah dengan balutan rok hitam dan kain batik bermotif bunga. Matanya sama teduhnya dengan mata Rama. Jernih dan menyiratkan kesejukan bagi siapa saja yang menatapnya. Rumah Rama sangat asri dan menenangkan. Di halaman berderet-deret pohon pisang yang buahnya siap dipetik. Pohon mangga manalagi yang lebat serta bunga-bunga yang bertaburan kupu-kupu membuatnya lebih indah di pandang.

"Kalau udara panas seperti ini biasanya nanti malam akan turun hujan, Nduk." ujar Ibu Rama kepadaku. Entah aku sangat suka dengan cara Ibu Rama memanggilku dengan sebutan 'Nduk' yang berarti genduk atau anak perempuan. Sedangkan ia memanggil anaknya, Rama dengan panggilan 'Le' yang berarti Tole anak Laki-laki.
Aku duduk di amben depan rumah, menikmati angin yang mulai semilir. Meskipun udara panas, tapi di rumah Rama semuanya terasa menyejukkan. Aku hampir tertidur ketika bau harum masakan mampir di hidungku membuatku terjaga.
Bau masakan itu berasal dari dalam rumah Rama. Kulihat Rama berdiri di ambang pintu dan menghampiriku.
"Ayo makan dulu, Nggi. Ibu sudah masak masakan lezat untuk kamu. Nanti jangan ketagihan ya," Rama mengajakku turut serta ke tempat makan. Di sana sudah ada Ibu Rama dan adik Rama yang masih kecil, usianya baru 7 tahun. Terlampau jauh dengan Rama jaraknya, 14 tahun. Namanya Utari, seperti nama istri Abimanyu dalam legenda Mahabaratha.Sedangkan Ayah Rama kalau siang seperti ini masih bekerja di kantor Balai Desa.

Selepas makan, Ibu Rama menyuruhku beristirahat di kamar Utari karena Utari mau les menari di sekolahnya, maka kamarnya bisa aku pakai. Sebenarnya ingin sekali ikut ke sekolah Utari melihat bagaimana dia berlatih menari. Tapi badanku sudah letih semua jadi kuputuskan untuk tidur sebentar. Aku mencoba untuk memejamkan mata tapi tidak bisa. Perjalanan dari Malang hampir 4 jam dengan naik motor membuat punggungku kaku semua.
Sebelum ke rumah Rama, dari Malang Rama langsung mengajakku menyusuri kota Lamongan yang saat itu baru pukul 7 pagi. Aku belum pernah sama sekali menginjakkan kaki di kota Soto ini. Rama mengenalkanku dengan Alun-alun Lamongan, Taman Telaga Bandung dan juga Rama tidak lupa dengan janjinya, memperlihatkan aku peninggalan Panji Laras Liris dan Dewi Andansari Andanwangi di Masjid Agung Lamongan.
"Dulu di Jawa Timur pada tahun 1640 masehi, terdapat adipati tangguh bernama Raden Panji Puspa Kusuma. Ia adalah pemimpin kadipaten di Lamongan masa itu. Menikah dengan putri Sunan Pakubuwono 11 raja Surakarta Adiningrat dan mempunyai anak kembar yang dinamakan Panji Laras dan Panji Liris." Rama memulai ceritanya,

"Lalu kedua putra kembarnya itu menikah dengan Dewi Andansari dan Dewi Andanwangi. Hidup bahagia selamanya." Aku sudah tahu sedikit ceritanya bahwa hubungan mereka berakhir peperangan tragis tapi tidak mengapa kan aku berharap kisahnya dengan ending bahagia?

Rama tertawa mendengar kelakarku. Dia tahu kalau aku berpura-pura tidak tahu akhir kisahnya.

"Bukan, malah sebaliknya. Kamu mau dengar ceritaku tidak?" Rama memandangku yang tengah sibuk mengamati genuk yang katanya dibuat dari sela cendhani.

"Iya, lalu bagaimana?"
"Saat tumbuh besar, Raden Panji Laras Liris melakukan kunjungan ke setiap daerah. Hingga mereka tiba di sebuah daerah yang dipimpin oleh Ki Ageng Wirosobo yaitu Kadipaten Kediri. Ki Ageng Wirosobo mempunyai putri-putri yang sangat jelita. Dewi Andasari dan Andanwangi. Di sanalah akhirnya mereka dipertemukan. Dan pada akhirnya Dewi Andansari dan Andanwangi jatuh cinta sama Panji Laras dan Liris." Rama sejenak menghentikan ceritanya. Karena aku tidak bertanya, Rama melanjutkan ceritanya lagi.
"Ki Ageng Wirosobo yang akhirnya tahu kalau putrinya jatuh cinta sama Panji Laras dan Liris, mengirim utusan ke Raden Panji Puspa Kusuma untuk melamar putranya. Raden Panji Puspa Kusuma menerima asalkan dengan syarat.."

"Apa syarat-syaratnya?" aku memotong cerita Rama karena penasaran dengan cerita selanjutnya.

"Syaratnya, Dewi Andansari dan Dewi Andanwangi harus membawa dua genuk yang terbuat dari sela cendhani dan diisi air hingga penuh. Juga harus membawa dua kipas yang terbuat dari sela cendhani juga. Dan mereka harus membawanya sendiri. Syarat-syarat tersebut adalah symbol agar mereka masuk islam. Genuk yang berarti padasan dan kipas adalah sajadah. Awalnya Ki Ageng Wirosobo keberatan tapi akhirnya menyetujuinya. Dan saat hari dimana rombongan iring-iringan dari Kediri datang melewati Kali Lamong, Panji Laras dan Panji Liris tanpa sengaja melihat betis mereka penuh dengan bulu lebat. Melihat hal itu Panji Laras dan Liris membatalkan pernikahan. Karena sakit hati pasukan Kediri menggempur kadipaten Lamongan. Dan perang tak bisa dihindarkan." Rama menghela nafas sejenak.
"Dalam peperangan itu baik Panji Laras dan Liris maupun Dewi Andansari dan Andanwangi tidak ada yang selamat. Bahkan Ki Sabilan pun ikut tewas saat membela Panji Laras dan Panji Liris. Melihat hal itu, adipati Panji Puspa Kusuma meneriakan larangan bahwa putra Lamongan tidak boleh menikah dengan putri Kediri kalau tidak mau celaka." Rama mengakhiri ceritanya. Aku masih sibuk berpikir bagaimana Dewi Andansari dan Andanwangi bisa mengangkat genuk yang berat itu.

BACA JUGA: Panji Laras Liris dan Putri Kediri

"Ayo kita pulang, aku mau memperkenalkan kamu pada ibuku sebagai calon istriku." Rama sudah mendahului ke arah parkir. Aku buru-buru mengikutinya,

"Kamu serius?" tanyaku seolah perkataan Rama hanya angin lewat.
"Iya, kamu sudah siap kan jadi istriku?" Rama tersenyum penuh semangat.
Aku hanya bisa mengangguk malu. Karena memang hubunganku dengan Rama sudah sangat dekat. Dan Rama sudah pernah menyatakan cintanya tapi kalau menikah, dia belum pernah bilang.

Dan pada akhirnya aku ada di sini, di rumah Rama yang penuh kehangatan. Aku kembali mencoba memejamkan mata tapi tak sengaja telingaku menangkap suara orang mengobrol serius, dan aku tahu itu suara Rama dan ibunya.
"Rama serius ingin melamar Anggi, Bu." Suara Rama terdengar mantap. Tapi jawaban ibunya membuat air mataku menggenang.
"Tapi ibu tidak setuju, Le. Anggi itu orang Kediri dan kamu nanti akan celaka kalau menikah dengan dia!"
"Ibu, kisah Panji Laras dan Liris itu hanya cerita masa lalu. Sekarang juga banyak orang Lamongan menikah dengan orang Kediri. Dan mereka baik-baik saja, Bu." Rama masih mempertahankan pilihannya.
"Orang lain terserah menikah dengan orang Kediri asalkan jangan anak ibu." Suara Ibu Rama makin lama makin mengecil. Aku sudah menutup telingaku karena tidak tahan mendengar semuanya. Setelah itu aku sudah terlelap karena lelah.
Ibu Rama membangunkanku untuk mandi sore dan shalat ashar. Ia masih ramah terhadapku. Tidak terlihat ia tidak menyukaiku. Tapi apa mungkin ibu Rama tidak menyukaiku? Atau hanya karena ia memegang teguh kepercayaanya?

Semakin sore udara bertambah dingin, mendung sudah mulai nampak di ujung langit. Sepertinya akan turun hujan. Rama menghampiriku yang sedang melamun di teras rumahnya.
"Kok nglamun?" Tanya Rama sambil duduk di sampingku.
"Kamu percaya cerita itu, Rama?!" Aku berdiri dan memandang Rama menuntut jawaban.
"Cerita apa?" Kening Rama mengernyit penasaran.
"Kalau orang Lamongan tidak boleh menikah dengan orang Kediri." Kataku penuh tekanan.

"Itukan hanya cerita masyarakat Lamongan di zaman dulu. Kita memang harus menghormati semua kebudayaan dan tradisi tapi belum tentu kita harus mengikuti semuanya kan?" Ujar Rama santai.

"Tapi kamu percaya?!" tanyaku lagi.
"Kenapa kamu jadi serius gini, Nggi?" nada bicara Rama penuh kekhawatiran.

"Aku orang Kediri, Rama." kataku tajam.

"Lalu kenapa? Aku tidak peduli kamu orang Kediri atau orang manapun. Aku hanya ingin menikah dengan kamu." Rama berusaha meyakinkan.

"Tapi menikah juga wajib minta restu seorang ibu kan?" Aku memandang Rama dengan nanar. Rama tertegun.
Hujan tiba-tiba jatuh tanpa diminta membasahi bumi dan juga hatiku. Aku dan Rama termangu menatap hujan tanpa bersuara.

Lamongan, Desember 2018

Post a Comment

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search