Wednesday 11 May 2016

Aku Tak Pernah Mengenal Mas Gagah

Aku tak pernah mengenal Mas Gagah
Siapa Mas Gagah?
Seorang lelaki kuat yang berperang seperti Bima?
Ataukah lelaki tampan yang menandingi ketampanan Arjuna?

***
Maaf aku gak bisa berangkat, Dik. Suamiku masih sakit!!
Kubaca WhatsApp temanku berulang-ulang. Kami sudah sepakat untuk datang ke acara Meet and Greet All Stars KMGP The Movie di Surabaya besok pagi. Rasa penasaranku yang kuat untuk bertemu langsung pemeran sosok Mas Gagah tak bisa digoyahkan lagi. Apapun yang terjadi, aku harus berangkat!! Tekadku penuh semangat.
Gak apa-apa, Mbak. Saya berangkat sendiri, semoga lekas sembuh suaminya.
Dan pagi menjelang, aku berusaha meyakinkan suamiku kalau aku bisa pergi sendiri. Suamiku minta maaf karena tak bisa menemani. Pekerjaannya di rumah sakit tak kenal minggu sebagai hari libur. Aku berangkat saat jarum jam menunjuk ke angka 10. Panas sudah mulai menyengat di atas ubun-ubun kepala saat aku menunggu bus di depan stasiun Lamongan. Kenapa stasiun? Karena terminal lebih jauh dari sini. Mau naik kereta pun jadwal keberangkatannya sudah sejak fajar terbangun. Terlalu pagi untukku.
Aku naik ke atas bus setelah kurang lebih lima belas menit menunggu. Rasa mual ku tahan saat mencium bau bus. Oh ya, aku sebenarnya benci dengan yang namanya bus. Karena bus selalu membuatku pusing dan mual. Tapi demi mengenal Mas Gagah, aku nekat meski sepanjang perjalanan aku harus menutup hidung. Bus melaju dengan kecepatan sedang, terkadang berhenti untuk menaikan atau menurunkan penumpang bahkan terkadang dengan tiba-tiba bus mengerem mendadak membuat para penumpang terjeduk ke bangku depan. Perjalananku penuh dengan lamunan. Mengingat bagaimana akhirnya aku mengenal sosok Mas Gagah. Waktu itu ketika kerjaan sedang longgar, aku buka kumpulan cerpen lewat internet dan kutemukan sebuah cerita dengan judul Ketika Mas Gagah Pergi. Kalimat demi kalimat ku baca dengan tenang. Aku membayangkan bagaimana sosok Mas Gagah yang diceritakan bunda Helvy dengan penggambaran yang sempurna. Ganteng, cerdas, gaul dan juga baik. Tipe pemuda yang ideal. Tapi aku tercekat ketika Mas Gagahnya Gita itu berubah penampilannya seperti Pak Gino, supir mereka. Semakin aku menyelam ke dalam cerpen itu, bulir-bulir air mataku tak bisa dibendung. Bukan hanya sedih karena Mas Gagah pergi tapi mengingat bahwa aku jauh dari sebutan seorang muslimah sejati. Aku memang telah berhijab tapi tak jarang pula aku memperlihatkan rambut ini ke muka umum. Aku ingin lebih mengenal Mas Gagah, meneladani setiap nasihatnya. Dan saat aku tahu cerita Mas Gagah Pergi difilmkan, aku berniat untuk melihat langsung filmnya. Seperti sekarang, aku duduk terkantuk-kantuk di atas bus hanya demi seorang Mas Gagah.
“Wilangun, Wilangun....Mbak sudah sampai Wilangun!”
Aku tergagap-gagap saat kondektur bus membangunkanku. Rupanya aku tertidur pulas.
“Mana, Pak? Wilangun?!” Aku terkejut karena tujuan pertamaku bukan terminal Wilangun tapi Purabaya.
“Iya Wilangun, Mbak. Ayo turun!!”
“Tapi saya mau ke Purabaya, Pak. Bus ini ke terminal Purabaya kan?”
“Gak, Mbak. Cuma sampai Wilangun saja.” Setelah menjawab pertanyaanku, kondektur itu pun sudah sibuk dengan penumpang lainnya.
Setelah menyerahkan uang delapan lembar ribuan, aku turun bus dengan lemas. Masih jauh aku menuju Grand City Mall. Akhirmya ku ubah rencanaku, aku tanya ke orang-orang angkot apa yang menuju Grand City. Dan angkot WK pun jadi pilihan meskipun aku bingung harus oper angkot berapa kali. Dari Wilangun aku pun turun di Pasar Turi naik angkot D menuju ke Terminal Joyoboyo untuk oper angkot F ke Grand City. Tapi ternyata semua rencana berantakan. Angkot yang aku tumpangi berbeda jalur,
“Pak, kok lewat sini?” ujarku bingung
“Iya, Mbak. Jalur biasanya macet, ini saya punya jalur alternatif.”
Dengan logat Madura bapak sopir berusaha menjelaskan. Hanya ada tiga penumpang dalam angkot tapi aku bersyukur semuanya wanita. Mereka hanya menggerutu tidak jelas. Setelah muter-muter tidak sampai-sampai pada tujuan, aku mulai gusar. Ku lirik jam tangan mungil di tangan kiriku, jam 12.45 dan acara Meet And Greet mulai jam 13.00. Jadi aku hanya ada waktu lima belas menit untuk bisa sampai ke Grand City. Perasaanku bertambah gusar saat satu persatu penumpang turun, sedangkan tempat tujuanku belum terlihat sama sekali. Dan nasibku memang benar-benar apes,
“Mbak, turun sini saja ya.
Saya mau putar arah!!”
“Maksudnya, Pak? Saya kan bayar, Pak. Bapak seharusnya mengantarkan saya ke tempat tujuan sesuai rute angkot ini!” Emosi saya mulai naik antara kecewa, marah dan panik.
“Mbak turun sini atau ikut saya ke pangkalan?”
Ya Allah, begitu berat perjalanan ini. Aku menghela napas panjang dan turun dengan lemas. Aku tidak tahu sedang berada di daerah mana. Mau telepon teman tapi pulsa sedang sekarat. Jalanan benar-benar sepi dan tidak ada orang yang lewat. Yang ada hanya kendaraan yang berlalu lalang dengan kecepatan tinggi.
Tapi baru selangkah aku beranjak dari tempatku, seorang ibu paruh baya menghampiriku. Entah dari mana asalnya.
“Nak, mau kemana?”
“Mau ke Grand City, Bu.”
“Kalau Grand City naik angkot yang warna coklat itu, Mbak. Nyebrang jalan depan, nanti angkotnya lewat situ.” Ibu paruh baya itu tersenyum ramah membuat semangatku datang kembali. Ternyata nasibku masih mujur.
“Njih, Bu. Matur Nuwun”
Tapi ternyata ibu tersebut tidak membiarkan aku pergi cari angkot sendiri, ibu itu mengikutiku. Dan tiba-tiba berteriak ke arah angkot yang lewat di depanku.
“Pak, Grand City ya..!!”
Ibu itu menyuruhku naik dan seketika bilang ke Pak sopirnya,
“Pak, jangan lupa turun di Grand City ya.” Dan menoleh ke arahku,
“Nanti turun pas depan Grand City, Nak. Hati-hati ya!!”
Aku tersenyum dan mengucapkan terima kasih berkali-kali. Di kota seperti ini masih ada seorang yang berhati lembut. Aku bahkan tak sempat menanyakan namanya. Ibu itu benar-benar memperlakukan aku seperti anaknya yang mau pergi jauh. Diawasinya angkot hingga aku tak melihat bayangannya lagi.
Setelah sampai di Atrium Grand City, aku daftar ulang di panitia ACT. Aku tak menyangka akan seramai ini, bahkan aku tak dapat tempat duduk. Aku berdiri dengan penuh kegembiraan. Perjuanganku untuk bertemu dengan pemeran Mas gagah akhirnya terkabul. Hamas Syahid pemeran mas Gagah, Aquino si tomboy Gita, Masadi, dan juga lainnya ikut memeriahkan acara. Tak ketinggalan Bunda Helvy Tiana Rossa hadir di sana. Ketertarikanku pada sosok Mas Gagah kian bertambah saat Hamas melantunkan ayat suci Al-Quran dengan suara emasnya, ku rekam dan ku simpan dalam handphone kecilku. Tak sia-sia aku berjuang untuk sampai ke tempat ini untuk lebih mengenal Mas Gagah.
Kecintaanku sama Mas Gagah tidak hanya berlanjut di sana tapi saat nonton bareng film Ketika Mas Gagah Pergi bersama suamiku, lagi-lagi aku terpesona dengan gaya dan perilaku Mas Gagah setelah hijrah. Dan yang paling mengena di hatiku saat Mas Gagah menjelaskan hukum bersalaman dengan yang bukan mahram.
“Dari Aisyah ra. Demi Allah, demi Allah, demi Allah, Rasulullah Saw tidak pernah berjabat dengan wanita kecuali dengan mahromnya. Hadits Bukhori Muslim.”
Aku memang tak pernah kenal dengan Mas Gagah. Mas Gagah juga bukan kakakku. Aku membayangkan bagaimana jika mempunyai kakak seperti Mas Gagah, kakak kandungku pun aku tak pernah tahu seperti apa wajahnya. Kata ibu kakakku meninggal waktu kecil, aku pun saat itu belum lahir ke dunia. Jika kakakku masih hidup apa mungkin bisa seperti Mas Gagah?
Sepulang menonton Film Ketika Mas Gagah Pergi, aku bertekad untuk memperbaiki diri. Jilbabku mulai sering kupakai di mana pun berada, mencoba meletakan tangan di depan dada ketika bersalaman dan menghubungi teman FLP-ku untuk menanyakan di mana aku bisa belajar mengaji setiap hari minggu tanpa menganggu kerjaku. Dan aku disuruh datang ke sebuah TPQ untuk mengaji Al-Quran. Disana Ustadzah Zaitun membimbingku dengan sabar meski aku mengaji dari awal huruf hijaiyah. Seorang guru yang tanpa embel-embel biaya. Mengaji di sana biaya seikhlasnya tanpa ada tarif. Aku mulai yakin bahwa niatku tidak salah, Allah lebih terasa dekat bersamaku.
Dengan perlahan sering kuusap perutku, sudah dua tahun menikah tapi tak ada seorang anak pun yang singgah di perutku. Allah belum memberikan amanah kepada kami. Di sela memperbaiki diri, aku berdoa agar kelak anak yang dianugrahkan kepada kami seperti Mas Gagah perilakunya, agamanya. Mungkin tidak sekarang, tapi nanti. Tidak apa, asal dia seperti Mas Gagah. Tampan, pintar dan juga sholeh. Yang terpenting sekarang, bagaimana aku harus bisa menjadi wanita muslimah sejati dan istri sholehah untuk suamiku. Bukankah perilaku seorang anak dilihat dari seberapa sholehah ibunya?

Lamongan, Mei 2016

Post a Comment

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search