Friday 20 August 2021

Cerpen Ruang Hati

Kentang goreng di hadapanku sudah layu. Tak panas lagi. Sebagian jumlahnya pun sudah berkurang. Matcha tea di mejaku sudah tandas menyisakan es batu yang mulai mencair. Kulihat orang yang berada tepat di seberang mejaku. Perempuan berjilbab hijau telah kedatangan tamunya. Seorang perempuan belia yang cantik. Sepertinya seorang mahasiswa. Tapi berbeda denganku. Kursi yang berada di depanku masih kosong. Aku masih menunggu tamuku. Belum ada kabar.

Aku ambil ponselku dari saku dan mulai meneleponnya. Tapi tidak terhubung. Ponselnya mati. Berulang kali aku mencoba telepon tapi tetap sama. Kukirim pesan melalui WhatsApps berharap dia membukanya. Kulirik jam tanganku. Pukul tiga sore. Setengah jam berlalu dari waktu yang kami sepakati. Lagi-lagi dia terlambat datang. Sementara kafe semakin riuh pengunjung. Ada yang datang bersama rombongan, ada yang hanya berdua dan juga sendiri seperti aku. Sebagian pengunjung sibuk berswafoto. Kafe bernuansa putih ini mengusung desain interior seperti anak jaman sekarang. Bangunan desainnya instragamable dan sejumlah sudut dihiasi dengan tanaman untuk menambah nuansa segar. Tapi aku sedikit pun tak ada niat walau untuk sekedar foto selfie dan mempostingnya di instagram. Aku sedang gelisah.


Ponselku berdering setengah jam kemudian. Sebuah pesan masuk dari Mas Arya,


Maaf, lupa mengabari. Baterai ponselku habis.

Ada kerjaan yang tidak bisa aku tinggalkan.

Kamu pulang duluan ya.. Maaf.


Kekhawatiranku berubah menjadi kecewa. Aku beranjak dari tempat duduk. Keluar dari kafe. Pulang. Kulihat awan hitam berarak memenuhi langit kota Lamongan. Dan perlahan gerimis turun mengiringi laju motorku di jalan Soewoko.


****

Komputer di meja kerja aku nyalakan kembali. Pulang tepat waktu ternyata hanya menjadi sebuah ekspektasi. Karena realitasnya aku harus mengedit bahan presentasi untuk rapat dengan klien besok pagi. Ada beberapa permintaan tambahan dari klien terkait desain yang aku buat.

Aku mengambil ponsel dari dalam tas. Ponselku mati. Pengecas ponsel tidak ada di dalam tas. Artinya aku lupa bawa pengecas ponsel. Tapi aku membutuhkan pengecas sekarang, aku harus menghubungi Tiana tunanganku. Pasti dia sudah menunggu.

Aku keluar dari kubikel. Sebagian kubikel sudah kosong. Hanya ada lima orang yang masih berkutat dengan komputernya.

Aku menghampiri kubikel tak jauh dari tempatku. Seorang perempuan berjilbab ungu muncul dari balik kubikelnya. Namanya Rani. Seorang pegawai yang baru enam bulan masuk di kantor ini. Seorang market research. Aku sering diskusi bersamanya terkait desain produk.

”Ada apa, Mas Arya?" tanyanya saat melihatku menghampirinya.

“Kamu bawa pengecas ponsel gak? Aku boleh pinjam?"

"Boleh, sebentar ya,"

Kemudian Rani menarik laci di depannya dan mengambil pengecas putih. Lalu diserahkannya padaku.

“Terima kasih. Aku bawa dulu ya."

“Iya bawa saja mas. Baterai ponselku masih penuh kok." Ujarnya sambil tersenyum menampilkan kedua lesung pipinya.

Aku kembali ke tempat kerjaku dan langsung mengisi daya baterai ponsel. Sambil menunggu terisi, aku mulai memeriksa file yang akan aku revisi. Karena keasyikan dengan desain aku lupa mengabari Tiana. Cepat-cepat kunyalakan ponselku. Ada lima panggilan WhatsApp tak terjawab dari Tiana dan dia meninggalkan satu pesan. 

Kenapa belum datang? Kamu baik-baik saja kan?

Hanya itu pesannya.

Buru-buru aku membalas pesan chatnya. Aku sungguh menyesal lupa mengabarinya.

***

“Hai, sudah lama menunggu? Yang lain belum datang?”

Aku mengalihkan pandanganku dari buku menu ke sumber suara. Revan menarik kursi di depanku dan duduk di sana. Senyumnya mengembang. Sepotong senyum tanpa deretan gigi. Beda dengan senyum Mas Arya. Senyum Mas Arya selalu menampilkan deretan gigi-giginya yang putih. Senyum sumringah.

“Tidak. Baru lima menit yang lalu. Yang lain mungkin masih di jalan." Jawabku sambil kembali melihat-lihat buku menu.

"Aku jus melon ya." Kata Revan tanpa melihat buku menu di hadapannya. Revan dan teman-temannya sudah sering ke kedai ini jadi dia sudah hafal menu tanpa melihat di buku menu.

Aku segera memanggil pelayanan. Aku memesan jus jambu dan jus melon. Revan lebih memilih jus melon karena baginya buah lebih bermanfaat untuk tubuh. Aku ingat, Mas Arya lebih suka kopi dan jarang sekali memesan jus. Pernah suatu kali pesan jus buah itu pun karena lambungnya sedang bermasalah, dokter menyarankan untuk tidak minum kopi dulu. Revan mengembalikan konsentrasiku dengan bertanya bagaimana konsep acara untuk Minggu besok. Dan kemudian dia mengeluarkan laptop dari dalam tasnya. Mengetik beberapa hal dan kemudian hanyut dalam kesibukannya. 

Revan adalah laki-laki yang aku kenal melalui acara literasi yang diadakan oleh komunitasnya di Alun-alun Lamongan empat bulan yang lalu. Waktu itu aku hadir untuk mewakili temanku karena berhalangan hadir. Dari sana awal aku berkenalan dengan Revan dan teman-temannya. Sejak itu aku bergabung di komunitasnya. Komunitas Pecinta Literasi. Hari Minggu besok kami akan mengadakan sebuah acara untuk memperingati Hari Dongeng Nasional. Dan di sinilah aku sekarang bersama Revan membahas acara tersebut dengan teman-teman komunitasnya.

Dengan Revan seolah aku menemukan duniaku. Revan suka menulis, aku juga. Revan suka menghabiskan waktu untuk membaca buku, aku juga seperti itu. Sedangkan Mas Arya lebih suka mengotak-atik Corel Draw di layar komputernya. Terkadang saat lenggang suka dihabiskan untuk menggambar. Menggambar apapun. Pernah dia tertawa saat melihat aku menggambar pohon. Katanya lebih mirip tiang listrik karena hanya tegak lurus. Tapi setelah itu dia mengajari aku menggambar macam-macam. Aku merasa Mas Arya mencoba memasukan aku dalam dunianya. Seringkali aku mengajak Mas Arya ke perpustakaan, tapi belum sampai setengah jam dia sudah keluar alasannya karena bosan. Suasana sepi dengan berderet-deret rak di buku katanya menambah suasana mencekam. Bagiku itu tenang tapi bagi Mas Arya itu horor.

“Tiana... tiana..!!””

Revan berulang kali memanggil namaku. Ternyata aku asyik melamun sendiri. Aku hanya bilang maaf. Revan mengusulkan berbagai ide untuk konsep acara kami. Aku mencoba untuk memberikan tanggapan dan memberikan beberapa pendapatku mengenai konsep yang dibuat Revan. Sesekali aku melihat ke arah tangga, berharap teman-teman lainnya segera datang. Karena aku tidak nyaman hanya duduk berdua dengan Revan meskipun kedai sedang ramai pengunjung. Aku tahu dari teman-teman komunitas bahwa Revan diam-diam menyukaiku. Dan itu membuatku semakin tak nyaman karena perlahan sepertinya aku mulai mengagumi Revan. 

Aku memandang ke arah jendela. Di bawah tampak jalanan penuh kendaraan lalu lalang. Kedai dua lantai ini letaknya dekat dengan pertigaan jadi tidak heran banyak kendaraan melintas dari tiga arah berlawanan. Di seberang kafe ini tampak berderet ibu-ibu penjual nasi Boran. Aku menelan ludah saat kulihat seorang ibu melayani pembelinya. Tampak bumbu boran yang begitu menggoda. Ah, aku jadi kembali teringat Mas Arya. Sudah beberapa hari ini pesan dan panggilannya kuabaikan. Aku masih marah karena Mas Arya selalu sibuk dengan pekerjaannya padahal tiga bulan lagi kami akan menikah.

***

Rani tertawa keras. Menertawakan cerita konyolku yang kemarin salah membawa remote AC pulang ke rumah. Mengira itu adalah ponselku. Rani masih saja tertawa, lesung pipinya terlihat semakin tegas. Menambah kesan cantiknya. Tiana tidak pernah tertawa seperti ini. Dia selalu menutupi mulutnya saat tertawa. Rani wanita enerjik, Tiana sangat lembut dan kalem.

“Mas, Arya lucu ya. Kok bisa sampai salah bawa remote AC. Mungkin efek kecapekan itu mas gara-gara lembur kemarin."

“Mungkin juga ya. Jadi tidak fokus. Dan jam delapan malam aku harus balik ke kantor buat ambil ponselku. Untung saja tidak ketemu hantu." Aku tertawa diikuti suara tawa Rani.

Setelah capek menertawakan kekonyolanku, Rani memesan segelas minuman bersoda. Dia sangat suka minuman ringan bersoda. Beda dengan Tiana, dia tidak suka minuman bersoda karena menurutnya tidak baik untuk kesehatan. Terlalu seringnya aku dan Rani dipertemukan dalam satu proyek, membuat aku mengenalnya lebih jauh. Membuat hubunganku dengan Rani semakin dekat.

Di hadapanku, Rani bercerita panjang lebar. Kadang disertai derai tawa. Tidak peduli kalau Pujasera telah banyak pegawai yang mulai makan siang di sini. Tidak dengan Tiana, setiap bertemu dia suka menjadi pendengarku. Dia akan menanggapi ceritaku dengan antusias. Dibiarkannya aku bercerita apapun tanpa dia ingin menyelanya. Tiana pendengar yang setia atau memang aku yang tidak memberi kesempatan untuk berbicara? Tiana seorang pendongeng, seharusnya aku tahu dia juga bisa bercerita seperti Rani. Tapi selama ini aku yang menguasai panggung saat kita bertemu.

***

Nasi Boran di seberang kafe menggugah seleraku. Mas Arya sering mengajakku makan di sana. Makan nasi Boran khas kota Lamongan. Dia bercerita panjang lebar tentang nasi Boran. Disebut nasi Boran karena ditempatkan di wadah yang di sebut Boranan. Tempat nasi yang terbuat dari anyaman bambu dan digendong dengan selendang pada punggung. Mas Arya suka sekali dengan pletuk yang terbuat dari nasi yang dikeringkan atau kacang. Dengan ditambah ikan sili yang kadang tidak pasti ada di penjual karena termasuk ikan musiman. Sedangkan aku suka sekali dengan empuknya. Tepung terigu yang dibumbui itu rasanya pas sekali di lidahku. 

Aku tiba-tiba merindukan Mas Arya. Aku mengira Revan adalah sosok laki-laki yang selama ini aku dambakan. Tapi kenyataannya ruang hatiku tetap dikuasai oleh Mas Arya. Mungkin benar kata orang, bahwa menjelang pernikahan banyak cobaannya. Dan seharusnya aku tidak boleh mudah tergoda dengan apapun yang membuatku ragu. Kuambil ponselku dan mulai membaca satu persatu pesan Mas Arya yang aku abaikan. Aku ingin mengirim pesan untuk minta maaf karena sifat kekanak-kanakanku selama ini. Tapi sebuah pesan dari Mas Arya muncul mendahului pesanku.

***

Aku biarkan Rani menyelesaikan ceritanya. Aku menanggapi sekadarnya. Pikiranku tertumpu pada Tiana. Sudah berhari-hari kami tidak saling menelepon. Beberapa kali pesanku tidak dibalasnya. Aku tahu Tiana marah karena akhir-akhir ini aku sering lembur kerja. Sering mengabaikan teleponnya. Dia pasti bingung dan repot bagaimana menyiapkan pernikahan kami nanti. Tapi aku malah sibuk dengan pekerjaanku.  Sore ini, aku harus memperbaiki semuanya. Kini aku menyadari bahwa aku tidak bisa berpaling ke perempuan lain. Rani yang aku anggap bisa membawa suasana baru di hidupku, ternyata semua itu hanya sebagai perbandingan-perbandingan dari apa yang tidak aku dapat dari Tiana. Rani cantik dan menyenangkan. Tapi yang aku cintai bukan dia, melainkan Tiana. Ruang hatiku terisi oleh Tiana. Mungkin aku harus banyak belajar agar tidak terlalu mudah untuk melihat hal-hal yang baik di luar Tiana.

Aku kirim pesan ke Tiana.

Sepulang kerja makan nasi Boran di belakang gedung DPR lama yuk... Sambil membahas resepsi pernikahan kita.

Dan belum semenit berlalu sebuah pesan masuk. Dari Tiana,

Oke. Kita bertemu di sana ya. Aku menunggu.


Lamongan, 2021

Fitri Areta


16 comments:

  1. Jadi ikutan senyum juga deh baca cerpennya bikin lagi yang banyak sekalian kirim ke koran biasanya nerima cerpen dan dapat honor

    ReplyDelete
  2. Suka Mbaakk. Alhamdulillah endingnya melegakan. Haha. Relate sih, kadang godaan-godaan muncul justru pas seseorang udah memilih calon pasangan hidupnya..

    ReplyDelete
  3. Ternyata cinta gak bisa ketebak ya. Yang semula merasa sefrekuensi ternyata gak selalu membuat nyaman

    ReplyDelete
  4. ujian memang kerap menerpa ya mba, demikian juga kehidupan nyata, jadi berasa flashback hehehe.
    Baca cerpen mba Fit, jadi kangen ngefiksi

    ReplyDelete
  5. Aku deg-deg an sama pesan yg dikirim di ending, ternyata melegakan hehe Memang mendekati hari pernikahan biasanya ada-ada saja godaan yang muncul antara kedua belah pihak atau sering beda pendapat.

    ReplyDelete
  6. kl jodoh tuh memang sifatnya bertolak belakang ya🤭 aku kerjaannya gambar ky mas arya tp suka baca hehe, suamiku kebalikannya😂

    ReplyDelete
  7. Ceritanya seakan nyata, jalan cerita seperti sering kita jumpai. Apakah ini sebuah kisah nyata ya.

    ReplyDelete
  8. Untung cuman cerita ya hahahaa.. Fokus sama pasangan masing-masing yuk :))))

    ReplyDelete
  9. Hmm.. complicated nih perasaannya. Hehe. Pasangan oh pasangan, ngeri-ngeri sedap juga sih kalau seperti itu ya.

    ReplyDelete
  10. seru juga ya baca POV ganti gantian gini.. Tapi emang bener sih,kalo mau mendekati tanggal2 pernikahan ada aja godaannya :))

    ReplyDelete
  11. Mantap kak, bikin lagi kak. Jadi kangen nyerpen juga deh. POV-nya dua begini. Seru. Semangat berkarya ya

    ReplyDelete
  12. Aih bikin cerpen, jadi ingat dulu sering banget kirim cerpen ke majalah2 😁

    ReplyDelete
  13. aku suka bgt nih bikin cerpen begini.. tapi masih belum pede dipublikasikan kak. tapi ceritanya ini keren bgt sih

    ReplyDelete
  14. bagus kak cerpennya, jadi bayangin cerpen ini, terus senyum senyum sendiri, lanjutkan ceritanya

    ReplyDelete
  15. jalan cerita cerpennya menarik, runut dan engga ngebosenin

    ReplyDelete
  16. Sudah lama banget gak baca cerita pendek beginian, pernah coba nulis cuma jaddi baper jadinya.

    ReplyDelete

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search