Sunday 8 April 2018

Melukis Mimpi di Kaki Lamongan

Siang ini panas terik menghujani sebuah kota kecil yang terletak di Jawa Timur. Sebuah kota yang sering disebut kota Soto ini memanglah tengah memasuki musim kemarau. Daun-daun mulai kehausan, kurus mengering. Jalan-jalan penuh debu berlarian ke sana kemari menambah udara semakin panas. Di siang bolong seperti ini membuat orang-orang malas keluar ke rumah walau hanya untuk mengangkat jemuran. Tapi saat sang Dewi malam muncul, suasananya beda sekali. Orang-orang suka bercengkrama di luar rumah sambil menyeruput kopi hitam bersama tetangga atau teman terdekat. Langit cerah, secerah sinar bintang yang bertaburan. Di musim kemarau, selalu malam yang dirindukan.

Di depan gerbang sekolah menengah pertama, tampak seorang bapak berumur enam puluhan tengah menanti rezeki datang. Saat waktu menginjak pukul 12.00, saat bel berbunyi menandakan pelajaran telah berakhir, wajahnya sumringah sebahagia gadis manis yang naik di atas becaknya. Setelah penumpangnya sudah duduk di becaknya, lalu dikayuhnya becak tuanya dengan penuh tenaga. Walau panas menghantam badannya yang hitam mengkilat karena sering terjamah matahari, bapak tersebut masih penuh semangat 45 bak berperang melawan penjajah. Semua itu dilakukannya demi istri dan anaknya. Sebut saja dengan panggilan bapak Paijo. Lelaki yang umurnya sudah memasuki lebih dari setengah abad ini suka senyum kepada siapa saja yang bertemu dengannya. Tak heran kalau semua orang kenal dengan pak Paijo. Setiap hari sebelum sang Fajar menyapa alam, pak Paijo sudah bersiap-siap mengais rezeki di tengah kota. Meski sudah renta, tapi badannya masih sehat.  

Biasanya setelah mengantarkan anak-anak sekolah pulang ke rumah, pak Paijo menyempatkan ke pasar tingkat yang letaknya sebelah barat Alon-Alon kota Lamongan. Pak Paijo berharap ada orang yang mau menggunakan jasa becaknya. Entah itu untuk tumpangan atau untuk sekedar mengangkut barang belanjaan. Di lain waktu kalau waktunya memungkinkan, Pak Paijo mengayuh becaknya ke arah stasiun. Lewat jalan mulus sebelah Plaza, pak Paijo berhenti sejenak di depan jalan raya. Kepalanya menengok ke kanan dan ke kiri. Kalau dirasa aman untuk menyebrang, pak Paijo mengayuh becaknya kembali menuju depan stasiun Lamongan. Jalur poros Pantura sangatlah ramai dengan kendaraan berbagai macam jenis dan ukuran. Tidak jarang ada kecelakaan lalu lintas di tempat tersebut. Pak Paijo selalu berhati-hati akan keselamatan dirinya karena dia selalu ingat ada anak gadisnya yang selalu menunggunya di rumah.
***

Siang itu, tidak seperti biasanya wajah pak Paijo diliputi mendung. Matanya nanar menatap lurus ke arah patung Bandeng dan Lele yang tampak 50 meter di depannya. Senyumnya tak terlihat sama sekali seharian ini. Mbok Ijah yang tidak tahan dengan rasa penasarannya, menegur pak Paijo yang tengah mematung di atas becaknya.
“Ono opo toh, pak? Gak biasane bapak seperti ini?”
Yang ditegurnya hanya diam membisu. Pak Paijo menghela nafas panjang sepanjang perjalanan hidupnya yang kian susah.
“Gak ada apa-apa, mbok.” Setelah menjawab singkat pertanyaan mbok Ijah, Pak Paijo mengayuh becaknya ke arah timur menuju jalan Veteran, tempat di mana sekolah-sekolah dan universitas didirikan di sana.
Mbok Ijah hanya mengawasinya lewat kedua matanya yang sudah mulai rabun. Usia mbok Ijah dan Paijo tidaklah jauh beda, meskipun keduanya sama-sama tua tapi semangat mereka untuk mencari nafkah tidak sebanding dengan umurnya. Mbok Ijah kembali melayani pembeli nasi borannya. Sudah dua puluh tahun mbok Ijah jualan nasi boran di samping kantor DPR Lamongan. Nasi borannya terkenal enak dan penjualnya pun terkenal ramah. Di samping mbok Ijah, berjejer pula ibu-ibu penjual nasi boran lainnya dengan tempat masing-masing yang sudah disiapkan pemerintah kota. Nasi boran hanya akan ditemui di kota Lamongan, disebut boran karena tempatnya yang terbuat dari anyaman bambu menyerupai bakul dan digendong di punggung dengan selendang. Tak jauh dari sana juga ada es ental. Es khas daerah Lamongan yang sangat segar apabila dinikmati di tengah panasnya hari.
“Mbok, iwake sili sama dikasih pletuk1 ya, tidak pakai empuk2. Sekalian bumbunya yang banyak.” Seorang gadis mendekati mbok Ijah yang sedang sibuk membungkus nasi borannya.
“Iya mbak. Sebentar.”
“Mbok Ijah, Pak Paijo kok tidak kelihatan ya? Biasanya jam segini pasti mangkal di sini.” Tanya Gadis berambut panjang itu heran setelah yang dicarinya tidak ada.
“Lah itu masalahe mbak, Pak Paijo tadi dari sini tapi aneh. Wajahnya murung tidak seperti biasanyaa yang suka guyonan.” Jawab mbok Ijah sambil  mencari-cari daun pisang untuk pembungkus nasi boran.
“Mungkin ada masalah, Mbok. Semoga tidak terjadi apa-apa dengan Pak Paijo, Ini nasi borannya sudah mbok?”
“Iya sudah mbak.” Di masukannya nasi boran ke dalam kantong plastik hitam.
Gadis tersebut menyerahkan uang seribuan enam lembar ke arah mbok Ijah.


(Bersambung)

Post a Comment

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search