Kumis tipis yang bertengger di bawah hidungnya
bergerak-gerak mengikuti nada bicaranya. Sudah seminggu aku melihatnya. Lelaki
berkumis tipis dengan keranjang merah bergelayut di tangan kanannya. Tangannya
tidak gemulai. Otot-otot kekar menyembul dari balik kaus yang putih. Entah sudah
berapa kali dalam lima menit ini aku melihat bibirnya selalu menyunggingkan
senyum pada seorang ibu penjual cabai di sudut pasar.
“Cabai lagi naik, Mas. Kalau gak mau harga segini,
ya sudah beli di lain saja!” Ibu tambun separuh baya itu menjawab dengan agak
kesal.
“Ya sudah, Bu. Saya beli setengah kilo saja.” Lelaki
berkumis tipis itu menjawab dengan
senyum di bibirnya. Meskipun tawaran harganya ditolak mentah-mentah oleh sang
penjual.
“Istrinya kemana sih, Mas? Wong lanang kok pagi-pagi disuruh ke pasar beli lombok....”
Dan lelaki berkumis itu hanya tersenyum.
Lelaki berkumis tipis itu kemudian menggeser tubuh tegapnya
ke lapak sebelah kiri. Seorang bapak kira-kira berumur lima puluhan menguap
lebar saat wajah lelaki berkumis itu menyembul di lapaknya.
“Cari apa, Mas?” tanyanya dengan separuh mengantuk.
“Bapak ini bercanda ya? Memangnya bapak jual apa
selain pisang?” lelaki berkumis tipis itu mencoba untuk bergurau. Tapi bapak
penjual pisang itu tak mempedulikan. Bapak itu masih saja berkutat dengan rasa
kantuknya.
“Ada orang beli ya dilayani, Pak. Jangan dibiarkan
gini, kebiasaan bapak ini!” Seorang ibu berdaster biru muncul dari balik lapak.
Mengomel karena suaminya tidak becus melayani pembeli pisangnya.
“Bapak masih ngantuk, Bu.” Sela sang suami.
“Pembeli itu raja, Pak. Harus dilayani dengan baik,
siapa suruh semalam nonton bola sampai jam tiga pagi!” omelnya lagi.
Lelaki berkumis tipis itu hanya diam menyaksikan
pasangan suami istri itu bertengkar. Dia masih tetap mematung di sana sebelum
ibu penjual pisang menegurnya.
“Mau pisang apa, Mas? Ini pisang mas kemarin baru
panen jadi masih segar. Kalau yang digantung di depan itu pisang raja. Atau mau
pisang kepok?”
“Pisang mas saja Bu. Berapa?”
“Dua puluh ribu, Mas.”
Lelaki berkumis tipis itu tanpa menawar langsung
memberikan uangnya kepada ibu tersebut. Kemudian lelaki itu berjalan melewati
lapak-lapak sempit yang menjual beraneka macam sayuran. Pasar sudah mulai ramai
dengan segala macam aktivitasnya. Lelaki itu hati-hati sekali berjalan, takut
tubuhnya membentur ibu-ibu yang berdesakan untuk belanja. Dan kulihat lelaki berkumis
itu melewatiku tanpa menyapa.
Setelah lelaki berkumis itu pergi, kudengar suara
ibu penjual pisang berbicara pada ibu penjual cabai.
“Istrinya sibuk kerja mungkin. Kasihan suaminya
dijadikan pembantu.”
“Atau mungkin sudah duda, Bu. Kalau duda kayak gitu
saya juga mau.” balas ibu penjual cabai. Dan mereka berdua tertawa cekikikan.
Lelaki berkumis
itu sudah seminggu ini jadi perbincangan ibu-ibu di Pasar Sidoharjo. Tidak
jarang pula bapak-bapak juga ikut menanggapinya. Karena mungkin memang di sini
kebanyakan para wanita yang belanja bukan para lelaki. Lelaki hanya di rumah
menunggu wanitanya pulang dari pasar dan memasak untuknya. Kemudian berangkat
kerja tanpa susah-susah bergelut dengan para ibu-ibu rempong di pasar tiap
pagi. Tapi lelaki berkumis itu sepertinya tidak peduli dengan omongan orang
tentang istri dan dirinya. Tentang istrinya yang tidak bisa memasak, istrinya
yang semena-mena padanya dan tentang dirinya yang dicap sebagai suami takut
istri.
Dan di hari Sabtu ini, aku melihat lagi lelaki
berkumis tipis itu menenteng keranjangnya. Kulihat keranjang merah itu sudah
penuh dengan ikan segar dalam plastik dan beberapa sayuran. Aku sangat suka
dengan lelaki itu. Aku suka dengan senyumnya. Senyum yang tak pernah luput dari
bibirnya setiap kali berjumpa dengan para pedagang. Kali ini, entah angin apa
yang membawanya mampir ke lapakku. Dia datang kepadaku dengan senyum cerah. Dan
di pagi itu aku ikut pulang bersamanya.
Rumahnya lengang saat pertama kali aku masuk. Dia
membawaku ke dapur di sebelah sudut kiri ruang makan. Dikeluarkan semua isi di keranjang
dan dengan cekatan mengolah ikan gurame yang dia beli tadi di pasar. Semua
sayuran dicucinya sampai bersih dan dipotong-potong sebelum dimasukannya ke
dalam panci yang sudah ada air mendidih.
Tak lama kudengar sebuah suara datang dari pintu
dapur,
“Mas Seto, kamu sudah pulang?” Suara seorang wanita
terdengar.
“Sudah, Sayang. Hari ini aku akan memasak sayuran
kesukaanmu. Sayur sop lengkap dengan kentangnya.” Lelaki berkumis itu memasukan semua sayuran ke
dalam panci dan sebelum aku benar-benar ikut masuk ke dalamnya, aku melihat
seorang wanita berkusi roda mendatangi
lelaki berkumis tipis itu. Untuk terakhir kali aku melihat senyum lelaki itu
mengembang penuh cinta.
Jogja,
25 Maret 2017
Pukul
13.00 – 15.30 WIB
(Kampus Fiksi Angkatan 20)
Post a Comment