Sumber: www.trivia.id |
Ku lihat wajah ayah dan ibu tampak sangat bahagia. Bertemu sahabat lamanya yang puluhan tahun tidak bertemu membuat mereka seperti kembali menemukan masa mudanya. Ayah mulai bercerita tentang sahabat lamanya yang sekarang tinggal di Surabaya, sahabat yang sekarang rumahnya sedang kami tuju. Ibu menanggapinya dengan senang, terlihat bibir ibu yang selalu mengeluarkan gelak tawa saat ayah bercerita tentang masa mudanya dulu dengan sahabatnya yang ku dengar namanya Irawan. Om Irawan setahun lebih muda dari ayah. Wajahnya masih terlihat tampan meski usianya sudah hampir kepala lima. Itu pun aku hanya bisa melihat dari foto di facebook ayah.
Hujan masih saja turun saat kami memasuki tol Gresik-Surabaya. Ku memandang rintik hujan lewat kaca jendela mobil. Sekali-kali aku tanggapi pembicaraan ayah dan ibu yang duduk di depan. Tapi banyak pertanyaan ayah yang tak ku jawab. Entah kenapa aku merasa muak dengan jalan hidupku. Persahabatan, perjanjian dan tentang perjodohan. Ah ayah, ini bukan tahun 1900an, tahun di mana Siti Nurbaya menjalani hidupnya. Aku sebenarnya tak ingin perjodohan ini tapi baktiku kepada ayah meredam semuanya.
Aku kembali merenung sambil menikmati hujan yang tengah deras. Pikiranku menerawang jauh ke masa lalu setiap kali melihat hujan. Hujan yang selalu turun membawa cerita di setiap orang yang merasakannya. Hujan yang selalu mengingatkanku tentangnya. Tentang seseorang yang sangat ku cintai dan selalu ku sebut namanya di setiap doa. Cinta pertama yang sampai sekarang masih terpendam di dalam hatiku.
***
“Aira, ya?”
Sontak ku balikan badan menghadap orang yang tengah menyebut namaku. Deg. Detak jantungku seolah berhenti berdetak. Sejenak aku mematung memandanginya. Memandang seorang pemuda yang setahun ini tengah mencuri hatiku.
“Kamu yang namanya Aira kan?” tanya pemuda itu sekali lagi.
“I..iya.” jawabku gelagapan. Tak percaya kalau dia tahu namaku.
“Jam satu siang nanti ke aula ya. Ada rapat untuk acara tujuh belasan. Semua panitia diharapkan hadir.” Ujarnya sambil tersenyum.
Senyumnya membuat hatiku meleleh sesaat. Oh, manisnya.
“Aku pasti datang, Kak Juna.” Jawabku sambil senyum semanis mungkin.
“Sampai bertemu di sana ya.”
“Iya, kak.”
Dan dia pergi meninggalkan aku yang masih terbengong di taman kampus.
Juna adalah seorang pemuda yang selama setahun aku perhatikan dan aku kagumi dari kejauhan. Ya, lebih tepatnya setiap hujan bertandang di halaman kampusku. Dia selalu menikmati hujan lewat jendela perpustakaan yang terbuka. Memang letak perpustakaan berada di depan ruanganku hingga aku leluasa memandangi wajahnya lewat kaca jendela yang berembun. Setiap kali hujan turun, aku tahu dia pasti ada di sana. Menikmati hujan yang terkadang deras. Aku hanya mampu melihatnya dari jauh tanpa ku coba berani memperkenalkan diri di depannya. Andai dia tahu, aku selalu di sini menikmati wajah manisnya dari kejauhan.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun, hubunganku dengan kak Juna semakin dekat. Tapi itu hanya sekedar teman tidak lebih karena kak Juna tak pernah mengungkapan perasaannya kepadaku. Aku pun demikian, aku tak punya nyali untuk bicara langsung dengan kak Juna tentang perasaanku padanya. Aku takut kak Juna malah akan menjauh dariku.
***
Tiba waktunya kak Juna lulus kuliah, aku hanya mampu menatapnya dari jauh. Aku tak ingin ada kata perpisahan yang terucap darinya. Aku menghilang sewaktu acara perpisahan. Kak Juna akan kembali ke kota asalnya Surabaya, sedangkan aku harus melanjutkan kuliahku di sini. Hari-hari tanpa kak Juna terus membayang di pelupuk mataku. Hujan masih sama seperti tahun kemarin tapi nuansanya sudah jelas berbeda. Di kaca jendela sana tak ku lihat lagi wajah tampannya, tak ku lihat lagi senyum manisnya. Aku mulai kesepian dengan hari-hariku di sini, semua terasa hambar tanpa kak Juna di sisiku. Candanya, sikapnya membuat aku selalu merindukannya. Dan setiap kali rindu itu hadir, aku selalu menatap hujan karena aku percaya bahwa hujan akan membawa kabar tentang dirinya meskipun hanya lewat suara rintikan air, itu sudah cukup buatku untuk mengobati rindu yang tengah membara.
***
Di hujan kala itu, pak pos datang dengan sebuah amplop coklat di tangannya.
“Surat untuk siapa, pak?” tanyaku waktu pak pos menyerahkan amplop itu kepadaku.
“Untuk Aira Delima, Mbak.”
“Oh. Itu saya sendiri, pak. Dari mana ya?” ku baca nama pengirim yang bertengger di amplop tersebut. ARJUNA.
Setelah Pak Pos pergi aku langsung buru-buru membuka surat tersebut. Ternyata aku salah. Dalam amplop tersebut bukan sepucuk surat melainkan sebuah Scrap Book berwarna hijau pualam dan sisi-sisinya terdapat bentuk hati merah jambu. Di halaman pertama tampak sebuah boneka kecil di balik gambar jendela dengan background abu-abu dan di sana- sini ada titik-titik menandakan hujan tengah turun. Halaman berikutnya tampak sebuah foto seorang gadis dengan rambut tergerai menghadap ke sebuah perpustakaan. Dan aku baru sadar bahwa gadis itu adalah diriku, saat ku buka lembar berikutnya ada fotoku dengan wajah yang sembab oleh air mata. Aku yakin kalau foto itu diambil waktu acara perpisahan Kak Juna dan aku tak pernah tahu ternyata Kak Juna ada di dekatku saat itu. Tapi kenapa Kak Juna tak menghampiriku? Aku semakin terisak saat tahu kak Juna juga mencintaiku.
Aira-ku, pelangi dalam hidupku
Aku mencintaimu tapi aku tak berani mengungkapnya. Aku takut cinta ini malah akan menjerumuskan kita pada lembah dosa. Biarlah cinta ini ada dalam hatiku. Jika kita memang berjodoh pasti Allah buka jalan untuk cinta ini. Namun bila tidak, Allah tentu tahu yang terbaik. Berjanjilah untuk selalu bahagia.
Aku juga sangat mencintaimu, Kak. Batinku terisak.
Amplop tersebut ku bolak-balik untuk mencari alamat rumah Kak Juna atau paling tidak nomor teleponnya. Tapi semua sia-sia karena Kak Juna hanya menulis kotanya saja, Surabaya. Dan itu kabar terakhir dari Kak Juna.
***
“Aira, sepuluh menit lagi kita akan sampai di rumah om Irawan. Kamu siap-siap ya.”
“Aira….”
“Iya, Bu.” Gelagapan aku menjawab. Aku terbangun dari lamunan panjangku.
“Kamu itu sukanya melamun.” Tegur ibuku.
“Anaknya om Irawan itu sangat baik, berpendidikan dan yang pasti dia sangat tampan sekali seperti ayahnya. Ayah yakin kamu pasti langsung suka dengannya.”
“Iya, Nduk. Semua yang dikatakan ayahmu itu benar. Kami hanya ingin kamu bahagia nantinya.” Ibu ikut-ikutan menambahkan omongan ayah.
Aku hanya terdiam mendengarkan. Aku sudah tidak bisa menolak perjodohan ini. Pernah sekali ku bantah perkataan ayah tentang perjodohan ini, aku mogok makan dua hari tapi semua itu tak menyurutkan keinginan ayah untuk menjodohkan aku dengan anaknya om Irawan dan aku hanya bisa pasrah menurut apa kata kedua orang tua jika itu memang terbaik untuk masa depanku.
“Kalau cari suami itu lihat bibit, bebet, sama bobotnya. Tidak ngawur cari yang ganteng atau hanya berdasarkan cinta. Cinta itu bisa datang berdasarkan kebiasaan, Nduk.” Nasehat ibu waktu aku menolak perjodohan itu.
“Dan perjodohan itu janji ayah sama om Irawan karena dulu ayah dan om Irawan sepakat menjodohkan anak-anak kami kelak kalau sudah dewasa. Dan ayah harus menepatinya.” Imbuh Ayah.
Setelah menempuh waktu kurang dari dua jam, akhirnya kami tiba di rumah om Irawan. Mobil kami pun sampai di depan rumah besar berpagar hijau. Seorang satpam langsung membukakan pagar setelah ayah memberitahu bahwa kami adalah sahabat dekat om Irawan. Gerimis masih terasa saat kami keluar dari mobil dan menuju rumah megah benuansa klasik itu. Setelah menunggu beberapa detik di depan pintu, seorang wanita seumuran ibu membukakan pintu untuk kami. Wanita tersebut memakai baju santai berwarna tosca dengan rambut tergerai sebahu mempersilahkan kami masuk. Dari raut mukanya yang langsung cerah melihat kedatangan kami, sudah ku duga bahwa wanita tersebut adalah tante Rika, istri om Irawan. Aku seperti pernah melihatnya sekali, sekali saja tapi entah di mana.
“Wah saya senang sekali kalian akhirnya datang memenuhi undangan kami.” Sapa tante Rika dengan riang.
“Maaf, kami baru bisa datang hari ini. Oh, ya mana Irawan? Saya sudah tak sabar ingin bertemu dengannya.” Ayah mencari-cari sosok sahabat lamanya itu.
Beginilah kalau sahabat lama bertemu, saling tanya kabar masing-masing dan mulai menceritakan lagi kenangannya dulu. Dan tentunya menanyakan anak masing-masing.
“Andre, bagaimana kabar kamu sekeluarga? Sehat kan? Kamu tentunya sudah tahu mengapa kami undang datang jauh-jauh dari Lamongan ke rumah kami. Kamu masih ingat perjanjian kita kan?” tanya Om Irawan penuh semangat.
“Kami semua sehat-sehat saja. Dan untuk perjanjian itu tentunya aku tidak akan lupa. Ini saya ke sini dengan Aira anak saya, cantik kan seperti ibunya?” Jawab ayah sambil tertawa.
Aku hanya tersenyum kikuk di sudut sofa. Aku sudah tidak betah berlama-lama duduk di sini. Mataku memandang ke luar jendela, ingin rasanya ku berlari-lari di bawah rintikan air hujan yang kembali turun dengan derasnya. Aku masih belum bertemu dengan anak om Irawan yang akan dijodohkan denganku. Aku mulai berimajinasi membayangkan sosok pemuda itu. Sesaat ku lirik om Irawan yang tengah tertawa mendengar lelucon ayah. Wajah om Irawan ternyata lebih tampan aslinya daripada fotonya dan pasti anaknya juga tak kalah tampan. Aku berfikir positif dan berandai-andai untuk menghilangkan kejenuhanku di rumah ini. Apa anak om Irawan seperti Alex ya? Teman kampusku ya kutu buku itu, tampan sih cuma kaca matanya itu hampir menutupi separuh wajahnya, besar sekali!!. Atau seperti Andra, ketua tim basket di SMA ku dulu, putih, tinggi dan senyumnya membuat gadis-gadis mengerubutinya, tapi dia anak mama. Kemana-mana pasti tidak jauh-jauh dari mamanya. Atau seperti kak Juna?
Seketika itu ku lihat ada seorang pemuda keluar dari dalam menuju ruang tamu lalu ikut bergabung dengan kami. Pemuda itu duduk tepat di depanku dan sesaat hatiku berdesir melihatnya. Aku tak percaya dengan apa yang aku lihat bahwa dia adalah kak Juna. Seseorang yang selama ini aku rindu dan cintai ada di depanku setelah sekian tahun tidak ada kabarnya. Aku bertanya-tanya dalam hati apa kak juna yang akan dijodohkan denganku nanti. Cintaku yang dulu hilang kini kembali dengan cara yang lebih indah. Kak Juna tersenyum ke arahku tapi aku merasa ada sesuatu tersimpan di balik pandangannya.
“Hai, bagaimana kabarmu?” sapanya memecah keheningan.
“Baik kak. Kakak sendiri bagaimana? Kak Juna anak om Irawan?” Tanyaku memburu.
“Baik juga. Benar, aku anak dari papa Irawan.” Jawab kak Juna sambil tersenyum.
Melihat kami sudah saling kenal, om Irawan dan ayah terlihat sangat senang.
“Wah, kalian sudah saling kenal? Kenal di mana?” tanya Om Irawan.
“Di kampus, Yah. Aira teman sekampus Juna di Semarang.”
“Kebetulan sekali, ternyata dunia ini sempit ya?” seloroh om Irawan sambil tertawa. Aku hanya diam menanggapinya dengan senyuman. Hatiku sudah tidak karuan dan mukaku mungkin sekarang sudah semerah tomat. Tapi tiba-tiba ada seorang pemuda yang usianya ku lihat lebih tua sedikit dari kak Juna menghampiri kami. Pemuda itu duduk di samping kak Juna.
“Selamat ya kak. Akhirnya kakak akan menikah juga. Aku turut bahagia.” Ucap kak Juna kepada pemuda yang ada di sampingnya. Kata-kata kak Juna buat aku tak kuat berpijak. Apa maksud dari perkataannya itu. Dan semua semakin nyata dan jelas.
“Aira, kenalkan ini Bima. Dia yang telah kami jodohkan denganmu dan Bima sudah setuju akan hal ini. Pernikahan kalian akan secepatnya dilaksanakan dan yang sebelahnya lagi Arjuna, dia adik Bima.”
Ucapan om Irawan semakin menusuk ke dalam hatiku. Hujan dan petir di luar terdengar semakin keras memenuhi gendang telingaku, alam juga ikut pilu mendengarkan semua kenyataan ini. Jadi, pemuda yang dijodohkan denganku adalah kakak dari seseorang yang amat ku cintai dan kak Juna, Ya Tuhan….dia akan jadi adik iparku. Badanku semakin limbung dan ku rasakan gelap memenuhi ruangan.
***
#Onedayonepost
#ODOPbatch5
#ODOPbatch5
#ODOPharike-5
Post a Comment