Tuesday 23 January 2018

Cerita Tentang Ayah

Jika ibu adalah sosok lemah lembut dan penuh kasih sayang, begitupun juga dengan ayah. Ayah memang tak selembut ibu, tapi kasih sayangnya tak kalah dibanding sosok ibu. Kasih sayang dan tanggungjawabnya terhadap keluarga menjelmanya menjadi sosok yang tegas sekaligus bijaksana.
Ayah memang tak mudah menangis seperti ibu, namun di balik perjuangannya mencari nafkah kadang ada airmata yang tersembunyi dalam peluh keringatnya. Rapat-rapat ia tutupi karena bukankah sosok ayah adalah pemimpin rumah tangga? Nahkoda untuk kapal pernikahannya? Bagaimana jika ada badai menerjang sedangkan pemimpin atau nahkodanya malah menangis tergugu tanpa mencari jalan? Jadi sewajarnya jika ayah tak pernah terang-terangan menampilkan air matanya. Karena bagi ayah, istri dan anaknya adalah tanggungjawabnya. Dan ayahku adalah teristimewa bagiku.
Sore itu, tak sengaja tanganku menarik selembar foto usang dari lemari baju ayah. Tepatnya lemari baju ibu. Karena tak lagi aku temukan baju ayah tergantung di sana. Ibu sengaja memberikan baju-baju ayah pada orang-orang yang membutuhkannya sejak ayah sudah tidak tinggal lagi bersama kami. Ayah telah lebih dulu dijemput Allah. Aku tersenyum saat wajah ayah aku temui di foto itu. Ah, tiba-tiba aku merindukan Ayah. Lima tahun sudah Ayah telah pergi meninggalkan kami. Menyisakan kenangan indah yang masih terekam jelas di pikiranku. Bahkan jejak-jejak perjuangannya masih melekat di hatiku. Perjuangan dari awal menikah dengan ibu hingga diberi amanah Allah dengan hadirnya aku.
***
Dari cerita ibu, ayah adalah sosok yang mengagumkan. Ayah dan ibu menikah tanpa kenal sebelumnya karena mereka dijodohkan oleh orang tua. Ayah dari remaja merupakan seorang pekerja keras yang bekerja ke kota satu ke kota lain. Setelah menikah, ayah bertambah giat bekerja. Mengumpulkan uang untuk mimpinya membeli sepetak tanah dan membangun rumah untuk keluarga kecilnya. Tak lama setelah menikah, ibu mengandung. Tapi bukan aku yang ada di rahimnya melainkan kakakku. Sembilan bulan akhirnya kakak pertamaku lahir. Kenapa aku bilang kakak pertama, karena setelah itu ada kakak keduaku. Kakak pertamaku laki-laki tumbuh menjadi balita menggemaskan. Namun, Allah berkehendak lain, kakakku dijemputNya sebelum merasakan apa itu masa kanak-kanak. Ayah dan ibu saat itu sungguh merasa kehilangan.
Selang satu tahun, ibu hamil lagi. Ayah sangat bahagia sekali. Dijaganya ibu dengan hati-hati dan tentunya ayah semakin giat mencari uang demi keinginannya membangun rumah. Waktu itu ayah dan ibu tinggal bersama nenek dan dua saudara ibu. Kakekku sudah meninggal ketika ibu beranjak remaja. Kelahiran yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba, kali ini kakak keduaku berjenis kelamin perempuan. Tapi lagi-lagi Allah mengambilnya. Belum sempat kakak keduaku melihat dunia, ia telah lebih dulu pulang ke haribaanNya. Dan ayah sangat terpukul dengan kejadian itu, terlebih ibu. Ibu syok karena anak yang dikandungnya meninggal dalam rahimnya. Ayah waktu itu memang sangat sedih, tapi ia ingin jadi penguat ibu. Ayah berusaha tegar dan menghapus air matanya. Ayah yakin Allah mempunyai rencana yang indah di balik semua cobaan.
Dua tahun pun berlalu sejak kepergian kakak keduaku, ibu mengandung aku. Jadi sebenarnya aku ini anak ketiga bukan anak pertama ibuku. Tidak lama setelah aku lahir, ayah menghadiahi ibu sepetak tanah dan membangun rumah di atasnya. Tempatnya pun tak jauh dari rumah nenek. Ayah telah berhasil mewujudkan mimpinya meski hanya sebagai tukang kayu tapi ayah membuktikan bahwa semua bisa terwujud jika mau bekerja keras. Dan sejak itu, aku tinggal di rumah hasil keringat ayah. Rumah yang aku tempati sekarang.
Karena ibu tidak bisa memberi ASI kepadaku, akhirnya aku minum susu formula. Susu formula di tahun 90-an itu pun harganya tidak murah bagi ayah yang pendapatannya tidak besar, lagi-lagi ayah berjuang untuk mendapat rejeki lebih. Kadang-kadang jika tidak ada kayu yang digergaji, ayah mengantar pesanan kayu ke daerah-daerah lain. Dan untuk membeli susu formula tidak dekat tapi harus ke pusat kota Lamongan. Jaraknya kurang lebih 10 KM dari rumahku ditempuh ayah dengan bersepeda onthel.
Ayah tak pernah kasar kepadaku, ia selalu mengajakku bermain dan tak jarang menceritakan dongeng untukku. Ayah bercerita tentang bagaimana pertemuan Dewi Andansari dan Andanwangi, putri kembar Ki Ageng Wirosobo pemimpin Kediri saat bertemu dengan calon suaminya Panji Laras dan Panji Liris putra kembar adipati Lamongan. Dan pertemuan itu berakhir dengan peperangan antara Kediri dan Lamongan. (kisah selengkapnya dapat baca di sini).
Saat ayah bepergian, ia selalu membawa oleh-oleh untukku. Selalu sebuah buku cerita. Ayah jarang membelikanku rok atau boneka tapi selalu dengan buku. Hingga sampai aku beranjak remaja, kebiasaan itu tak pernah berubah. Hanya saja ayah tidak lagi mebelikanku buku cerita anak-anak tapi buku bacaan yang bermanfaat untuk kebutuhan sekolahku. Karena kebiasaan itu, aku mencintai buku seperti aku mencintai ayah. Baunya buku bagiku adalah parfum ayah, yang tak pernah hilang dan selalu terkenang meskipun selesai membacanya.
Lulus SMA, aku bertekad untuk melanjutkan kuliah di luar kota yaitu Surabaya. Awalnya memang ayah dan ibu keberatan atas keputusanku lalu hal itu tidak berlangsung lama karena ayah meyakinkan ibu bahwa aku akan baik-baik saja. Padahal aku tahu, ayah juga khawatir terhadapku apalagi aku anak satu-satunya. Aku sebelumnya tak pernah keluar jauh dari rumah bahkan ayah melarangku keluar malam di atas jam delapan. Tapi ayah dengan ikhlas melepasku untuk meraih mimpi-mimpiku.
Saat pertama kali aku ke Surabaya, Ayah mengantarku dengan kereta. Kita berdua berlarian mengejar kereta pagi. Saat embun pun masih basah menetes, Fajar pun masih enggan bangun dari tempatnya. Aku dan ayah duduk di gerbong yang longgar sambil menikmati lukisan pagi lewat celah-celah jendela kereta dengan kantuk bergelayut di mata. Sampai di tempat kuliahku, ayah mendaftarkan namaku serta setelahnya langsung mengajak mencari kos dimana nanti aku akan tinggal. Ayah dengan cermat memastikan bahwa aku akan tinggal di kos yang nyaman dan lingkungan yang baik. Saat pulang ke Lamongan, jam masih menunjukan jam satu siang sedangkan kereta yang akan kami tumpangi berangkat pukul lima sore. Karena ayah tahu kalau dari dulu aku tak pernah cocok dengan bus mana pun. Saat naik bus selalu ada energi dari dalam mulut yang membuatku ingin mengeluarkan semua makanan yang ada di dalam perut. Ayah bernisiatif untuk menunggu saja kereta di stasiun. Karena tidak ada tempat untuk duduk, ayah menggelar lembaran koran bekas yang dibelinya beberapa ribu rupiah. Aku dan ayah duduk bersama sambil sesekali melihat jarum jam yang berjalan lambat. Aku sesekali menatap ayah, demi aku ayah rela menunggu begitu lamanya untuk sampai ke kota Lamongan.
Bulan berganti bulan, ayah jatuh dan mendadak kena stroke padahal saat itu kuliahku memasuki semester tiga. Dan ibu menggantikan ayah bekerja sebagai buruh cuci. Aku tahu bagaimana perasaan ayah saat itu. Hati ayah hancur karena seharusnya ia yang menjadi tulang punggung keluarga malah tidak bisa melakukan apa-apa.
Satu tahun berlalu, Pagi itu, tanggal 27 Oktober 2012 ayah dengan senyumnya mengiijinkan aku berangkat ke Surabaya untuk kuliah tapi beberapa jam setelahnya aku harus pulang lagi dan mendapatkan ayah terbaring di rumah sakit. Hatiku teriris karena saat hari itu juga ayah menghembuskan nafas terakhir. Aku bahkan tak sempat minta maaf pada ayah. Bahkan sampai pemakaman ayah kering, aku belum percaya ayah meninggalkanku dan ibu. Ayah pernah berjanji untuk menjabat tangan calon suamiku dan menikahkan aku tapi Ayah pergi tanpa pesan sebelum pernikahan itu terlaksana. Aku menikah dua tahun setelah ayah meninggal.

***
Air mataku menetes membasahi foto ayah. Mengingat ayah membuatku menangis. Aku ambil handphoneku dan memotret foto ayah. Karena hanya ini foto kenangan ayah. Karena ayah tak pernah suka di foto. Meskipun begitu wajah ayah selalu ada dalam hatiku.

Lamongan, 23 Januari 2018
Pukul 19.19 WIB

#Onedayonepost
#ODOPbatch5
#ODOPharike-2

Post a Comment

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search