Friday 7 October 2016

Letupan Bara di Bumi Lamongan: Agresi Militer Belanda II pada 9 Maret 1949

Desing peluru bergetar menembus daun bengkoang
Menyapu peluhmu dengan darah mengental
Kilat matamu menyembulkan bara perlawanan
“Aku tidak mau menyerah!! Bunuh saya!!” Katamu berkobar.
…………
(Fitri Areta- Kadet Soewoko, pahlawanku)

Tujuh puluh tahun silam, bangsa Indonesia berjuang untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari para penjajah. Peristiwa-peristiwa yang telah terjadi tak akan pernah luput dari ingatan sejarah. Pasca Proklamasi, bangsa Indonesia belum sepenuhnya merdeka. Pada tanggal 19 Desember 1948, catatan sejarah menuliskan bahwa Yogyakarta kembali diserang oleh Belanda setelah perjanjian Renville ditandatangani pada 19 Januari 1948. Dan pada serangan tersebut, Ir Soekarno, Syahrir dan beberapa tokoh lainnya ditangkap. Ibu kota negara jatuh dan kemudian dibentuk pemerintahan darurat yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara.
Jatuhnya Yogyakarta di tangan Belanda akhirnya menjadi pemicu serangan jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III dan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat di bawah komando Panglima Besar Sudirman. Mereka melakukan pemberontakan dan serangan kepada Belanda dengan tujuan utama untuk mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia Internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan. Serangan yang dipimpin langsung oleh Letnan Kolonel Soeharto, Komandan dan Brigade 10 daerah Wehrkreise III itu lebih dikenal dengan Serangan Umum 1 Maret 1949.
Belanda menyebar pasukannya ke seluruh pelosok Indonesia untuk melakukan serangan. Tak terkecuali kabupaten Lamongan yang ada di Jawa Timur. Tercatat dalam buku “Lamongan Memayu Raharjaning Praja” yang ditulis Pemerintah Kabupaten Lamongan 1994 bahwa saat itu kabupaten Lamongan adalah bagian dari pertempuran Brigade Ronggolawe yang disebut Daerah Operasi Timur (DOT) dibawah pimpinan Kapten Soekarsono, Komandan Komando Distrik Militer (KDM = KODIM). Kapten Soekarsono bersama Lettu Soewignyo, Supardan, Lettu Tituler Projosayono, Lettu Tituler Imam Suhadak dan lainnya melakukan penyerangan umum ke kota Lamongan yang diduduki Belanda pada malam hari. Serangan tersebut bagaikan tiupan angin yang membawa kobaran semangat untuk masyarakat Lamongan. Kapten Soekarso dalam serangannya juga melibatkan pasukan Tamtomo dan pasukan Candrabirawa yang anggotanya terdiri dari anggota ODM bersama dan rakyat desa. Tapi salah satu anggotanya, Soemargo gugur dalam serangan tersebut.
Setelah melakukan serangan, pasukan Tamtomo berpencar ke daerah basis masing-masing. Juga regu pimpinan Kadet Soewoko, salah satu dari empat regu pasukan tersebut menyingkir ke daerah Laren di utara Bengawan Solo. Kadet Soewoko dikenal sebagai pimpinan yang tangguh dan tak mudah menyerah. Dia bukan pimpinan asli Lamongan tapi dia dilahirkan di Desa Lumbangsari, Krebet, Malang pada tahun 1928. Seusai lulus dari sekolah kadet di Malang, dia ditugaskan untuk menjadi komandan regu I seksi I pasukan tamtama KDM (KODIM) Lamongan.
Dari catatan sejarah Kodim 0812 Lamongan, yaitu pada tanggal 3 Maret
Sumber: suaralamongan.wordpress.com 
1949 menjelang tengah hari, Kadet Soewoko menerima laporan dari penduduk desa bahwa di jalan dekat desa Parengan sejumlah serdadu Belanda sedang berusaha menarik kendaraannya yang terperosok dalam selokan. Pasukan Kadet Soewoko yang pada saat itu berada di langgar (mushola) di pinggir desa Laren langsung bersiap-siap untuk melakukan serangan. Karena desa Parengan berada di sebelah selatan Bengawan Solo dan Desa Laren di sebelah utara Bengawan Solo, maka pasukan Kadet Soewoko mengambil jalan dengan menyebrangi sungai Bengawan Solo dengan menaiki sebuah perahu. Perjuangan mereka tidak sampai di situ karena setelah menyusuri Bengawan Solo, mereka harus menaklukan semak-semak kebun bengkoang yang sedang pada musimnya. Dari kejauhan serdadu-serdadu Belanda sudah terlihat. Dengan melepas baju seragam dan melilitkan sebuah kain merah di lehernya, mereka berusaha menarik Power Wagon yang terperosok. Serdadu-serdadu itu memaksa beberapa pemuda Lamongan untuk membantunya menarik kendaraan yang ada di selokan.
Kadet Soewoko ingin menembak sasaran dengan jarak yang dekat. “Kita tidak akan menembak sampai mereka menggerakan Power Wagonnya. Pada saat dan detik itulah kita tembak salvo, kemudian regu cepat mundur.” Perintah Kadet Soewoko saat itu. Pasukan Kadet Soewoko terus maju dan merangkak mendekati serdadu Belanda dengan jarak sekitar 100 meter. Mereka bersembunyi di gundukan tanah yang ditumbuhi ubi-ubian. Ternyata rencana Kadet Soewoko meleset karena setelah lama menunggu, dari kejauhan terdengar deru mobil yang diisi oleh serdadu-serdadu Belanda. Power Wagon yang lainnya datang ke tempat kendaraan yang terperosok. Serdadu-serdadu Belanda pun menarik kendaraannya dengan seutas tali. Setelah Power Wagon berhasil naik ke atas, pasukan Kadet Soewoko memanfaatkan kesempatan itu untuk menembak.
“Tembaaakkkk!!” seru Kadet Soewoko mempimpin pasukannya. Dan beberapa serdadu Belanda terjungkal dan jatuh ke tanah. Serdadu-serdadu lainnya hanya diam terpaku untuk beberapa saat dan tiba-tiba mereka menjatuhkan tembakan pembalasan penghancuran ke arah pasukan Kadet Soewoko. Pasukan Kadet Soewoko kewalahan dengan tembakan-tembakan itu karena jumlah mereka kalah banyak dan juga senjata musuh lebih modern dan canggih. 37 orang serdadu tambahan itu lebih gesit dalam menyerang. Walaupun dengan suasana terdesak, Kadet Soewoko tetap tidak mau menyerah dan tetap melakukan serangan balasan. Bumi Lamongan membara dengan benturan-benturan peluru mereka yang penuh semangat. Beberapa Serdadu Belanda akhirnya dapat dikalahkan tapi tidak lama mereka menambah pasukan. Dengan bertambahnya jumlah serdadu Belanda, membuat Pasukan Kadet Soewoko terdesak mundur. Mereka tidak dapat berkutik saat musuh mulai berpencar dan mengepung pertahanan pasukan Kadet Soewoko. Senapan mesin yang ditempatkan musuh di Power Wagon terus menembak ke arah Kadet Soewoko dan pasukannya. Saat itu hari telah gelap, dengan jarak 10 sampai 20 meter saja sudah tidak terlihat apa-apa. Dalam kondisi seperti itu, Kadet Soewoko mengambil keputusan untuk menerobos kepungan musuh dan lari ke desa Gemantuk kecamatan Maduran. Mereka menerobos kepungan musuh dengan senjata terhunus tapi sebuah tembakan mengenai kedua bahu Kadet Soewoko sebelum dia menembakkan stengunnya. Kadet Sewoko jatuh tersungkur ke tanah tapi dia tidak gugur bahkan masih bisa melakukan perlawanan. Dua anggota Kadet Soewoko berhasil lolos dan ada yang berpura-pura mati.
Beberapa serdadu Belanda mendekati Kadet Soewoko dan bertanya dengan nada membentak.
“Siapa nama?” Jawab Kadet Soewoko, “Soewignyo”, dia menyebut nama Kepala staf KDM Belanda. Dan serdadu Belanda itu memaksa Kadet Soewoko untuk ikut ke markasnya yang ada di Sukodadi. Tapi dengan lantang Kadet Soewoko menolak, “Tidak. Tidak. Saya tidak mau menyerah, bunuhlah saya!!”
Dengan geramnya, Kadet Soewoko ditusuk sangkur dan pipi sebelah hidung ditembak. Pada saat itu juga, Minggu tanggal 9 Maret tahun 1949 Kadet Soewoko gugur sebagai pahlawan bangsa. Dialog kisah ini diceritakan oleh Suyono yang pura-pura mati. Suyono berada tidak jauh dari komandannya hingga dia mendengar dan menyaksikan bagaimana komandannya itu mati terbunuh.  Dalam pertempuran tersebut gugur 4 orang, yaitu Kadet Soewoko, Sukaeri, Widodo dan Lasiban serta senjata mereka dirampas.
Aksi Agresi Militer Belanda II tersebut berdampak besar pada rakyat Lamongan. Selama enam bulan pertempuran, menurut catatan Komando Distrik Militer Lamongan Bagian Penyiaran, korban dari pihak Belanda jauh lebih besar dibandingkan pihak Tentara Republik Indonesia sendiri. Korban tercatat 139 orang tewas, luka-luka 29 orang dan tertawan 11 orang. Sampai dengan tanggal 19 Juni 1949, korban di Pihak Republik, adalah:
Tentara, gugur sebanyak 40 orang, 12 orang luka-luka, dan 11 tertawan
Penduduk tewas sebanyak 355 orang dan luka-luka 93 orang
Harta benda, rumah dibakar sebanyak 1.070 wuwung, ternak 178 ekor, padi 840 kwintal, perihasan seharga Rp 1.480.100 dan lain-lain seharga Rp 3.915.022.
(Dikutip: Lamongan Memayu Raharjaning Praja, 1994)
Tragedi Kadet Soewoko dan pasukannya yang gugur di medan pertempuran sampai saat ini bisa dilihat pada monumen gugurnya Suwoko yang berada di Desa Gumantuk, Kecamatan Maduran, Kabupaten Lamongan, tertera tanggl 9, bulan 3, tahun 1949. Di tugu yang bertuliskan “ Tugu Peringatan, Mengenang Jasa Para Pahlawan “ itu tertera beberapa nama diantaranya adalah Suwoko- Kadet TNI, Widodo- Kopral TNI, Sukaeri- Kopral TNI, serta Lasiban- Kopral TNI.  Kadet Soewoko meninggal di saat usia 21 tahun dan dikenal sebagai pemuda yang rela berkorban demi negaranya. Tugu tersebut terletak di perempatan kecil yang menghubungkan Desa Gumantuk dan Desa Kanugrahan dari arah utara dan selatan. Tugu yang terletak sekitar 0,5 km sebelah timur perempatan Desa Dempel, dan 10 km sebelah barat pertigaan Desa Sumberwudi ini berbentuk persegi yang memiliki tinggi kurang lebih 3 meter.
Di Kota Lamongan pun bisa melihat patung Kadet Soewoko yang terletak di jalan raya Lamongan – Surabaya, dengan tinggi 4 meter tampah sebuah patung bercat abu-abu dengan gagah membawa senapan. Letak patung Kadet Soewoko itu sekitar 500 meter dari pertigaan bunderan Lamongan, di sebelah timur jalan. Dan tepat di sebelah barat patung, ada sebuah jalan yang diberi nama jalan Soewoko.
Bahkan karena perjuangannya, wajah Kadet Soewoko digunakan sebagai logo supporter Persela Lamongan dan Suporter tim Persebaya. Untuk supporter Persela, logo gambar orang memakai blangkon dengan jari menunjuk ke atas, sedangkan untuk supporter tim Surabaya memperlihatkan wajah dengan ekspresi garang yang menggunakan ikat kepala berwarna hijau. Logo gambar tersebut karena terinspirasi oleh pahlawan Kadet Soewoko.
Dan semoga, pemuda-pemuda generasi penerus mempunyai keberanian melebihi para pahlawan yang telah gugur demi mempertahankan dan mengisi kemerdekaan Indonesia tercinta.


Lamongan, 27 Agustus 2015

Post a Comment

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search