Selamat
pagi Ayahku tercinta,
Bagaimana
kabar Ayah pagi ini? Sudah pasti Ayah selalu bahagia di sisi Allah. Di sana
bagaimana Ayah? Adakah hujan, panas atau malah musim salju? Mungkin orang-orang
menganggapku tidak waras, Ayah. Bagaimana tidak? Aku berkirim surat kepada orang
yang telah meninggalkan dunia fana ini. Tapi aku tak peduli Ayah meskipun aku
tahu surat yang ku tulis ini takkan pernah sampai di tanganmu, karena bapak
Tukang Pos juga tak pernah bisa mengantar surat ini ke tempat Ayah. Tapi aku
selalu punya cara tersendiri agar surat-suratku sampai kepada Ayah. Melalui
doa-doa panjangku, aku akan mengatakannya pada Allah tentang rinduku pada Ayah
dan Allah pasti akan menyampaikannya kepadamu. Aku percaya itu.
I Miss U My Father |
Aku
merindukanmu, Ayah. Tiga tahun Ayah telah meninggalkanku, bahkan aku tak mampu
menghitung berapa purnama yang telah kita lewati, berapa matahari kita teriaki.
Tapi masih terekam jelas kenangan-kenangan indah bersamamu. Jejak-jejak
perjuanganmu masih melekat dalam hati dan fikiranku Ayah. Ingatkah kau Ayah
waktu kita berlarian mengejar kereta pagi untuk mengantarkanku ke tempat kuliah
di kota Pahlawan? Saat embun pun masih basah menetes, Fajar pun masih enggan
bangun dari tempatnya. Kita duduk di gerbong yang longgar sambil menikmati
lukisan pagi lewat celah-celah jendela kereta dengan kantuk bergelayut di mata.
Tapi tahukah Ayah, kini gerbong-gerbong kereta itu penuh manusia
berjejal-jejalan seperti lontong yang kebanyakan isi, tak ada lagi pemandangan
pagi yang indah. Yang ada hanya wajah-wajah orang penuh kantuk, peluh keringat
basah pun hinggap di tubuh masing-masing. Ah, Ayah.. indah benar jaman dulu. Saat
pulang kita gelar tikar. Bukan, bukan tikar Ayah tapi lembaran koran bekas yang
kita beli beberapa ribu rupiah. Kita duduk bersama sambil sesekali melihat
jarum jam yang berjalan lambat. Ruangan yang kita tempati semakin lama semakin
penuh orang. Suara peluit bapak kondektur terdengar begitu nyaring menandakan
kereta akan segera berangkat. Tapi Ayah, masih kurang 3 jam lagi kereta kita
akan tiba. Itu artinya kita harus menunggu lebih lama di stasiun ini. Anakmu
ini manja ya, Ayah? Kalau waktu itu aku mau naik bus, kita bisa pulang lebih
cepat tanpa harus menunggu ular besi
itu. Tapi Ayah tahu kalau dari dulu aku tak pernah cocok dengan bus mana pun.
Saat naik bus selalu ada energy dari dalam mulut yang membuatku ingin
mengeluarkan semua makanan yang ada di dalam perut. Maafkan aku, Ayah. Demi aku,
Ayah rela menunggu begitu lamanya untuk sampai ke kota Soto.
Tapi kini
aku telah lulus, Ayah. Bahkan anakmu yang manja ini telah menikah. Ayah ingat?
Ayah pernah berjanji untuk menjabat tangan calon suamiku dan menikahkan aku
tapi kenapa Ayah pergi tanpa pesan sebelum pernikahan itu terlaksana? Aku ingat
saat terakhir kali Ayah memberikan senyum termanis untukku. Sebuah senyuman
yang tak pernah ku tahu bahwa itu senyum Ayah yang terakhir kali. Pagi itu,
tanggal 27 Oktober 2012 kau ijinkan aku berangkat ke Surabaya untuk meraih
mimpiku tapi kenapa beberapa jam setelahnya aku harus pulang lagi dan
mendapatkan Ayah terbaring di rumah sakit? Kenapa waktu itu Ayah tak mencegahku
pergi? Hatiku teriris Ayah, saat hari itu juga kau menghembuskan nafas
terakhir. Aku bahkan tak sempat minta maaf pada Ayah. Bahkan sampai pemakaman
Ayah kering, aku belum percaya Ayah meninggalkanku. Padahal saat itu, aku baru
saja meraih mimpiku, Ayah. Mimpi untuk menjadi wanita sukses dan membahagiakan
Ayah dan Ibu seperti yang selalu aku katakan pada, Ayah. Tapi sudahlah, semua
ini bukan salah Ayah. Allah telah mengambil milikNya. Maafkan aku, Ayah. Selama
ini aku belum bisa membuat Ayah bangga memiliki anak seperti aku. Tapi aku
berterima kasih atas semua pengorbanan dan kasih sayang yang Ayah berikan
kepadaku. Aku tak pernah lupa untuk selalu mendoakan Ayah, karena itu adalah
caraku saat aku merindukanmu. Sampai kapan pun aku akan selalu sayang kepada
Ayah.
Sudah ya,
Ayah. Baik-baik di sana ya! Jangan khawatir, aku akan selalu menjaga ibu. Oh, ya dapat salam dari ibu, Ayah jangan
merokok terus ya!!hehehe… Aku dan ibu selalu mencintai Ayah.
Anakmu
yang manja,
Fitri Areta
Post a Comment