“Aku
gila…..aku memang GILA…………..”!!!
Tak
pernah ku hiraukan hujan menukik turun dengan derasnya. Tak ku hiraukan wajahku
tersapu rinai-rinai tetesan air yang menggila. Aku terus berteriak seakan-akan
hujan hendak menerkamku.
“Aku
gila, aku gila tanpa kamu….…”
Langit
terus memotret alam dengan kilatan-kilatan dahsyat. Halilintar menggelegar
menerbitkan suara yang aduhai berisik dan tentu menyeramkan. Semua orang
mungkin pada sembunyi di balik pintu rumah atau dibalik selimut tebal.
Menyaksikan hujan dengan bantuan jendela kaca. Tapi tidak untuk aku. Bagiku
hujan adalah sahabatku. Ya, hujan yang selalu menemaniku hari-hariku dengannya.
Hujan yang selalu memberikan nuansa cerita cintaku. Dulu, sebelum semuanya
berakhir…
*****
“ Hai…”
“
Hai, Deren ya?”
“
Iya. Kamu pasti Ochelia Candra kan?”
“
Chaca. Panggil saja aku Chaca.”
Aku
menatap wajah yang ada di depanku.
Tinggi, putih dan lumayan gantenglah. Tapi dibanding dengan Kiem Bum ya masih
jauh. Hihihihi…. J
Namanya
Deren. Dia seorang Manager HRD di kantor baruku. Aku baru sekitar tiga bulan
pindah ke sini. Perusahaan media kabar di area Surabaya. Awalnya aku hanya
mengenalnya sebatas teman kerja. Tapi tidak tahu kenapa, virus-virus merah
jambu mulai menggelitiki hatiku sejak aku dekat dengannya.
“
Cheli…….”!!!
Livia
tiba-tiba datang di depanku dan cipika cipiki denganku. Raut mukanya riang.
Mungkin habis menang togel semalam. Hehe..
“
Selamat ya Chel, aku turut senang dengarnya”
Hello……kata-katanya
membuat aku mengerjap-ngerjapkan mata tanda kebingungan.
“
Selamat? Ulan tahunku masih lama Vi, Lagian aku juga tidak menang lomba apapun
kan?”
“
Haduh, tidak usah berlagak heran deh. Kamu kan baru jadian sama Deren”.
“
Gila kamu Vi. Ya enggaklah. Aku kan sudah punya pacar. Deren juga. Kamu kan
juga tahu akan hal itu”.
Aku
mencoba untuk menjelaskan bahwa aku memang tidak jadian dengan Deren. Livia,
temanku sekantor yang selalu memanggil namaku dengan sebutan Cheli memang amat
cerewet. Suka ceplas ceplos bicara sana-sini. Tak pernah tahu alasannya kenapa
dia memanggilku Cheli. Memang sih namaku ada unsure Chelinya. Ochelia. Tapi kan
tidak ada yang panggil aku seperti itu kecuali Livia. Hemm… Sudahlah tidak usah
dibahas. Mau dia panggil Cheli, Lili atau candra sekalipun tak perduli. Toh,
dia tetap teman baikku.
****
Bayu
berhembus membelai pori-pori kulitku. Dingin. Mendung masih terus bergelayut
diujung langit seakan sudah siap menumpahkan semua kegalauannya. Aku menutupi
diriku dengan jaket. Udara hari ini memang benar-benar tak sebaik yang aku
kira. Langit sudah mulai meneteskan air-air di setiap tanah yang diinginkan. Ya
seperti saat ini, gerimis memilih turun di tempatku berdiri.
“
Cha, pulang bareng yuk, sebelum hujan semakin deras.” Deren tiba-tiba muncul di
depanku dengan motor gedenya.
“
Kamu pulang duluan saja, aku bisa pulang sendiri.” Ujarku mencoba menolak. Aku
mulai menghindari Deren. Karena aku tidak mau perasaanku semakin dalam padanya.
Aku tak mau menyakiti siapapun. Pacarku maupun pacarnya.
“
Tapi ini sudah malam. Tidak baik perempuan pulang sendirian. Aku juga mau
ngomong sesuatu sama kamu”. Deren terus memaksaku untuk ikut dengannya.
Akhirnya
aku ikut diboncengannya. Dan karena aku juga penasaran apa yang akan dibicarakannya
denganku. Sepertinya penting sekali.
Hujan
mulai turun semakin derasnya. Langit mengguyur bumi tanpa basa basi. Aku dan
Deren menepi ke sebuah taman untuk numpang berteduh.
“
Cha, kenapa sih kamu menghindariku? Apa salahku? Sudah seminggu ini kamu diam
dan terus menghindariku? Aku terluka saat kamu bersikap seperti ini.”
Aku
menunduk. Mencoba mengumpulkan kekuatanku untuk berbicara dengannya. Menahan
semua sakit hatiku saat aku menatap matanya.
“
Bukankah ini yang terbaik. Kita terus dekat seperti ini sementara di luar sana
ada yang selalu menanti kita. Seseorang yang setia pada cinta kita. Tapi kita
coba untuk menghianatinya. Aku tak bisa lakukan itu, Deren.” Ku menunduk tak
berani menatap matanya karena bulir-bulir air mataku sudah turun seiring hujan
turun membasahi bumi.
“
Tapi aku tak ingin jauh darimu. Aku tak ingin berpisah denganmu. Aku belum
siap.” Deren berkata lantang mengalahkan suara halilintar yang mulai menyambar.
“
Aku harus menunggu sampai kau siap? Sampai kapan? Sampai orang-orang terdekat
kita terluka karena perbuatan kita? Aku juga tahu kamu tak akan pernah mungkin
meninggalkan kekasihmu. Kembalilah Deren. Maaf aku tak bisa. Aku coba tetap
setia pada kekasihku.” Aku berlari menerobos hujan yang kian lebat. Tak perduli
langit menghukumku atau kerikil-kerikil menertawakanku. Tak ku hiraukan Deren
berulang-ulang meneriaki namaku agar aku kembali. Aku tak perduli itu semua.
Aku
tetap coba setia pada hujan yang selalu menurunkan surat rindu dari kekasihku.
Hujan yang selalu aku yakini membawa pelangi di setiap ujung penantiannya. Mungkinkah
di setiap hujan turun, aku selalu mendebarkan satu nama dihatiku? Ataukah
beribu-ribu nama ku simpan dalam jiwaku seperti banyaknya air hujan yang turun?
Tidak.
Tidak. Aku tidak seperti itu. Kan ku coba menghitung berapa banyak tetesan
hujan yang membawa surat cinta untukku. Membawa anugrah untuk cerita cintaku.
Biarpun senja telah menelan hujan sebelum mengering.
Aku
memang mencintaimu, tapi tidak dengan melukai yang lain. Aku menanti pelangi
datang tapi bukan dengan merebut hujan dari kekasihmu. Aku punya pelangi
sendiri yang di sana ada cerita lebih indah.
Hujan
memang punya cerita tentang kita. Bukan, bukan hanya tentang kita. Tapi tentang
mereka juga. Aku, kamu, kekasihku dan kekasihmu. Kita memang yang merangkai
cerita di bawah naungan hujan, tapi mereka juga mengikuti setiap episode
perjalanan kita. Harus ada sakit dan klimaks sebelum datangnya ending. Biarlah
cerita cinta aku dan Deren tersapu oleh derasnya air hujan dan menggigil
tersapu angin, tanpa ada pelangi yang muncul. Walaupun ada mentari, aku masih
setia pada hujan.
“Inilah akhirnya harus ku akhiri, sebelum
cintamu semakin dalam. Maafkan diriku memilih setia walaupun ku tahu cintamu
lebih besar darinya” by Fatin Shidqia
Lamongan, 2013
Fitri Areta
Post a Comment